BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah panjang seni teater dipercayai keberadaannya sejak manusia mulai melakukan interaksi satu sama lain. Interaksi itu juga berlangsung bersamaan dengan tafsiran-tafsiran terhadap alam semesta. Dengan demikian, pemaknaan-pemaknaan teater tidak jauh berada dalam hubungan interaksi dan tafsiran-tafsiran antara manusia dan alam semesta. Selain itu, sejarah seni teater pun diyakini berasal dari usaha-usaha perburuan manusia primitif dalam mempertahankan kehidupan mereka. Pada perburuan ini, mereka menirukan perilaku binatang buruannya.
Setelah selesai melakukan perburuan, mereka mengadakan ritual atau upacara upacara sebagai bentuk “rasa syukur” mereka, dan “penghormatan” terhadap Sang Pencipta semesta. Ada juga yang menyebutkan sejarah teater dimulai dari Mesir pada 4000 SM dengan upacara pemujaan dewa Dionisus. Tata cara upacara ini kemudian dibakukan serta difestivalkan pada suatu tempat untuk dipertunjukkan serta dihadiri oleh manusia yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Teater
Teater (Bahasa Inggris "theater" atau "theatre", Bahasa Perancis "théâtre" berasal dari Bahasa Yunani "theatron", θέατρον, yang berarti "tempat untuk menonton") adalah cabang dari seni pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di depan penonton dengan menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh), mimik, boneka, musik, tari dan lain-lain. Bernard Beckerman, kepala departemen drama di Univesitas Hofstra, New York, dalam bukunya, Dynamics of Drama, mendefinisikan teater sebagai " yang terjadi ketika seorang manusia atau lebih, terisolasi dalam suatu waktu/atau ruang, menghadirkan diri mereka pada orang lain." Teater bisa juga berbentuk: opera, ballet, mime, kabuki, pertunjukan boneka, tari India klasik, Kunqu, mummers play, improvisasi performance serta pantomim.
Teater adalah tempat persembahan - persembahan kesenian yang dilakonkan di hadapan penonton secara langsung menggunakan kombinasi pertuturan, gerak isyarat, muzik, tarian, bunyi dan sebagainya.
Terdapat pelbagai jenis persembahan teater, antaranya ialah: opera, balet, pantomim dan wayang kulit. Selain itu, menurut prof. datin. dr. rahmah hj bujang dalam bukunya yang berjudul Glosari Kesenian Melayu pula ialah teater adalah sebarang perlakuan kisah atau cerita dalam satu kawasan yang ditentukan sebagai pentas untuk perlakuannya dan menuntut pergerakan fizikal; dengan mempunyai komponen aksi dan reaksi para pelaku, yaitu para pelakon, dan pemerhati, yaitu audiens atau penontonnya.
Beberapa macam arti teater:
1. Secara etimologis : Teater adalah gedung pertunjukan atau auditorium.
2. Dalam arti luas : Teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak
3. Dalam arti sempit : Teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media : Percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dsb.
B. Sejarah Singkat Teater
Waktu dan tempat pertunjukan teater pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun yang dapat diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori tentang asal mula teater adalah sebagai berikut:
· Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.
· Berasal dari nyayian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
· Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, perang, dsb).
C. Sejarah Teater di Indonesia
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk 24 mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakatlingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
a. Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua. Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal).
Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang.
b. Mamanda
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jeniskesenian antara lain yang paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, yang orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek.
Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.
c. Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak. Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan. Dalam perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
· Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
· Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
· Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.
D. Intellegensi Teater
Otak bukan hanya segumpalan materi yang dapat dibandingkan sebagai gumpalan daging yang biasa. Tetapi otak memiliki fungsi yang sangat penting untuk kita, seperti juga fungsi jantung untuk peredaran darah dalam tubuh kita. Otak manusia dewasa diperkirakan mengandung antara 12-15 miliyar sel saraf, itupun sel yang ada pada otak besar (neokorteks) belum ditambah dengan otak reptil dan mamalia, sehingga mencapai 200 miliar sel..Dan dari situlah manusia memiliki berbagai kemampuan seperti daya ingat ,berfikir,merasa dan lain sebagainya.
Dari pembagian otak tersebut, dibagi lagi menjadi dua fungsi yaitu fungsi otak kiri dan otak kanan. Dari setiap belahan otak itu mempunyai fungsi tersendiri yang diatur oleh “alat” penghubung kedua otak tersebut. Dan koordinasi dari kedua otak itu yang memaksimalkan fungsinya, .kalau penghubung itu terganggu, kedua belahan otakpun ikut terganggu. Otak kiri terkait dengan kemampuan logika, matematika, bilangan , bahasa, daya ingat dan daya analisa. Sementara belahan otak kanan banyak berfungsi dalam penguasaan bentuk dan pola, penguasaan ruang, irama, penggambaran, imajinasi dan ukuran dimensional.
E. Gaya Pementasan
Gaya dapat didefinisikan sebagai corak ragam penampilan sebuah pertunjukan yang merupakan wujud ekspresi dari:
· Cara pribadi sang pengarang lakon dalam menerjemahkan cerita kehidupan di atas pentas
· Konvensi atau aturan-aturan pementasan yang berlaku pada masa lakon ditulis
· Konsep dasar sutradara dalam mementaskan lakon yang dipilih untuk menegaskan makna tertentu.
Gaya penampilan pertunjukan teater secara mendasar dibagi ke dalam tiga (3) gaya besar yaitu; Presentasional, Representasional (Realisme), dan Post-Realistic.
- Presentasional
Hampir semua teater klasik menggunakan gaya ini dalam pementasannya. Gaya Presentasional memiliki ciri khas, “pertunjukan dipersembahkan khusus kepada penonton”. Bentuk-bentuk teater awal selalu menggunakan gaya ini karena memang sajian pertunjukan mereka benar-benar dipersembahkan kepada penonton. Yang termasuk dalam gaya ini adalah:
a. Teater Klasik Yunani dan Romawi
b. Teater Timur (Oriental) termasuk teater tradisional Indonesia
c. Teater abad pertengahan
d. Commedia dell’arte, teater abad 18
Unsur-unsur gaya Presentasional adalah:
· Para pemain bermain langsung di hadapan penonton. Artinya, karya seni pemeranan yang ditampilkan oleh para aktor di atas pentas benar-benar disajikan kepada khalayak penonton sehingga bentuk ekspresi wajah, gerak, wicara sengaja diperlihatkan lebih kepada penonton daripada antarpemain.
· Gerak para pemain diperbesar (grand style), menggunakan wicara menyamping (aside), dan banyak melakukan soliloki (wicara seorang diri).
· Menggunakan bahasa puitis dalam dialog dan wicara.
Beberapa lakon yang biasa dan dapat dipentaskan dengan gaya Presentasional, di antaranya adalah:
· Romeo and Juliet, Piramus dan Thisbi, Raja Lear, Machbeth(William Shakespeare)
· Akal Bulus Scapin, Tartuff, Tabib Gadungan (Moliere)
· Oidipus (Sopokles)
· Epos dan Roman Sejarah yang biasa dipentaskan dalam teater tradisonal Indonesia
- Representasional (Realisme)
Seiring berkembangya ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad 19, bersama itu pula teknik tata lampu dan tata panggung maju pesat sehingga para seniman teater berusaha dengan keras untuk mewujudkan gambaran kehidupan di atas pentas. Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya yang disebut Representasional atau biasa disebut Realisme. Gaya ini berusaha menampilkan kehidupan secara nyata di atas pentas sehingga apa yang disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi potongan cerita kehidupan yang sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton yang menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.
Gaya Realisme sangat mempesona karena berbeda sekali dengan gaya Presentasional. Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kejadian sesungguhnya. Unsur-unsur gaya Representasional adalah:
· Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah sebuah kenyataan
· Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara penonton dan pemain
· Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dan soliloki sangat dibatasi
· Menggunakan bahasa sehari-hari.
Beberapa lakon yang biasa dan dapat dipentaskan dengan gaya Representasional, di antaranya adalah:
· Kebun Cherry, Burung Manyar, Penagih Hutang, Pinangan (Anton Chekov)
· Hedda Gabbler, Hantu-hantu, Musuh Masyarakat(Henrik Ibsen)
· Senja Dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan, Penggali Kapur(Kirdjomuljo)
· Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin)
· Tiang Debu, Malam Jahanam (Motinggo Boesje)
Dalam perkembangannya gaya Representasional atau Realisme ini melahirkan gaya-gaya baru yang masih berada dalam ruang lingkupnya yaitu; Naturalisme, Selektif Realisme, dan Sugestif Realisme (Mary McTigue, Ibid., 162).
Naturalisme merupakan sub gaya Realisme yang paling ekstrim. Gaya ini menghendaki sajian pertunjukan yang benar-benar mirip dengan kenyataan. Setiap detil dan struktur tata panggung harus benar-benar mirip seperti aslinya sehingga panggung merupakan potret kehidupan sesungguhnya. Naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah, juga percaya bahwa kondisi manusia amat ditentukan oleh faktor lingkungan dan keturunan. Dalam prakteknya kaum naturalisme banyak mengungkapkan kemerosotan dan kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan kebusukan manusia dan hal-hal yang tak menyenangkan “dalam kehidupan”. Panggung harus menggambarkan kenyataan sebenarnya yang mereka ambil dari kehidupan nyata. Tokoh naturalisme yang sangat penting ialah Emile Zola. Ia mengangkat : “Bukan drama, tetapi kehidupan yang harus disajikan pada penonton”. Sebagai gerakan teater, naturalisme hanya hidup sampai tahun 1900 setelah itu hanya realisme yang semakin berpengaruh seiring dengan perkembangan teknologi terutama kelistrikan yang dapat diguankan untuk menunjang teknik pemanggungan.
- Gaya Post-Realistic
Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi tertentu (Presentasional dan Representasional) dan berusaha memperluas cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon maupun penyutradaraan. Gaya ini membawa semangat untuk melawan atau mengubah gaya Realisme yang telah menjadi konvensi pada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersenidiri dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi artistiknya. Banyak percobaan dilakukan sehingga pada masa tahun 1950-1970 di Eropa dan Amerika gaya ini dikenal sebagai gaya Teater Eksperimen. Meskipun pada saat ini banyak teater yang hadir dengan gaya Realisme tetapi kecenderungan untuk melahirkan gaya baru masih saja lahir dari tangan-tangan kreatif pekerja seni teater. Banyak gaya yang dapat digolongkan dalam Post-Realistic, beberapa di antaranya sangat berpengaruh dan banyak di antaranya yang tidak mampu bertahan lama.
Unsur-unsur gaya Post-Realistic adalah:
· Mengkombinasikan antara unsur Presentasional dan Representasional
· Menghilangkan dinding keempat (the fourth wall), dan terkadang berbicara langsung atau kontak dengan penonton
· Bahasa formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan beberpa idiom baru atau dengan bahasa slank.
Beberapa gaya Post-Realistic yang berpengaruh adalah:
· Simbolisme, sebuah gaya yang menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan makna lakon atau ekspresi dan emosi tertentu. Meskipun pada awalnya gaya ini muncul tahun 1180 di Perancis, namun baru memegang peranan berarti pada tahun 1900. Simbolisme tidak terlalu mempercayai kelima panca indera dan pemikiran rasional untuk memahami kenyataan. Intuisi dipercayai untuk memahami kenyataan karena kenyataan tak dapat dipahami secara logis, maka kebenaran itu juga tidak mungkin diungkapkan secara logis pula. Kenyataan yang hanya dapat dipahami melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Untuk keperluan tersebut gaya ini mencoba mensintesiskan beberapa cabang seni dalam pertunjukan seperti; seni rupa (lukisan), musik, tata lampu, seni tari, dan unsur seni visual lain. Simbolisme sering juga disebut sebagai Teater Multi-Media.
· Teatrikalisme, mencoba menarik perhatian penonton secara langsung dan menyadarkan mereka bahwa yang mereka tonton adalah pertunjukan teater dan bukan penggal cerita kehidupan seperti dalam gaya Realisme. Sengaja menghapus “dinding keempat”, menggunakan properti imajiner atau tata dekorasi yang berganti-ganti di hadapan penonton.
· Surealisme, sebuah gaya yang mendapat pengaruh dari berkembangnya teori psikologi Sigmund Freud dalam usahanya untuk mengekspresikan dunia bawah sadar manusia melalui simbol-simbol mimpi, penyimpangan watak atau kejiwaan manusia, dan asosiasi bebas gagasan. Gaya ini begitu menarik karena penonton seolah dibawa ke alam lain atau dunia mimpi yang terkadang muskil tapi hampir bisa dirasakan dan pernah dialami oleh semua orang.
· Ekspresionisme, istilah ini diambil dari gerakan seni rupa pada akhir abad 19 yang dipelopori oleh pelukis Van Gogh dan Gauguin. Namun gerakan itu kemudian meluas pada bentuk-bentuk seni yang lain termasuk teater. Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh sebelum masa itu, hanya masih merupakan salah satu elemen saja dalam teater. Sebagai suatu gerakan teater, ia baru muncul tahun 1910 di Jerman. Sukses pertama teater ekspresionisme dicapai oleh Walter Hasenclever pada tahun 1914 dengan dramanya Sang Anak. Adapun puncak gerakan ini terjadi sekitar tahun 1918 (pada saat Perang Dunia I) dan mulai merosot tahun 1925. Meskipun mula-mula ekspresionisme berkembang di Eropa, terutama selama Perang Dunia I (1914-1918), namun pengaruhnya menjangkau ke luar Eropa dan dalam masa yang lebih kemudian. Beberapa dramawan Amerika yang terpengaruh oleh gerakan ekspresionisme ini adalah: Elmer Rice, Eugene O’neill, Marc Connelly, dan George Kaufman. Pengaruh ini terutama nampak dalam tata panggung dan elemen visual yang lebih bebas diatasnya, adegan mimpi dalam lokal realistis, misalnya adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Jadi teknik dramatik dan pendekatan-pendekatannya dalam pemanggungan merupakan pengaruh besar ekspresionisme dalam teater abad 20 (Yakob Soemardjo: 1983-1984).
· Teater Epik, disebut juga sebagai “teater pembelajaran”. Gaya ini menolak gaya Realisme, empaty, dan ilusi dalam usahanya mengajarkan teori atau pernytaan sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan, lagu, dan bahkan terkadang melaljui kontak lang sung dengan penonton. Gaya ini sering juga disebut “Teater Obsevasi”. Tokoh yang terkenal dalam gaya ini adalah Bertold Brecht. Teater epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yang lazim disebut sebagai teater dramatik. Teater dramatik yang konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah pertunjukan yang membuat penonton terpaku pasif. Sebab semua kejadian disuguhkan dalam bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat dan waktu tidak pernah berubah. Dengan demikian ada kesan bahwa kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht berusaha membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi dan merupakan bagian vital dari peristiwa teater.
· Absurdisme, gaya yang menyajikan satu lakon yang seolah tidak memiliki kaitan rasional antara peristiwa satu dengan yang lain, antara percakapan satu dengan yang lain. Unsur-unsur Surealisme dan Simbolisme digunakan bersamaan dengan irrasionalitas untuk memberikan sugesti ketidakbermaknaan hidup manusia serta kepelikan komunikasi antarsesama. Drama-drama yang kini disebut absurd, pada mulanya dinamai eksistensialisme. Persoalan eksistensialisme adalah mencari arti “Eksistensi” atau “ada”. Apa akibat arti itu bagi kehidupan sehari-hari?. Pencarian makna “ada” ini berpusat pada diri pribadi sang manusia dan keberadaannya di dunia. Dua tokoh eksistensialis yang terkemuka adalah: Jean Paul Sartre (1905) dan Albert Camus (1913-1960). Para dramawan setelah Sartre dan Camus lebih banyak menekankan bentuk absurditas dunia itu sendiri. Dan obyek absurd itu mereka tuangkan dalam bentuk teater yang absurd pula. Tokoh-tokoh Teater Absurd di antaranya, adalah: Samuel Beckett (1906), Jean Genet (1910), Harold Pinter, Edward Albee, dan Eugene Ionesco (1912).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teater adalah tempat persembahan - persembahan kesenian yang dilakonkan di hadapan penonton secara langsung menggunakan kombinasi pertuturan, gerak isyarat, muzik, tarian, bunyi dan sebagainya.
Teater dari waktu ke waktu terus bekembang dan mengalami peubahan, dari jaman-jaman teater klasi menjadi teater-teater modern. Di dalam kehidupan sehari-hari teate merupakan salah satu cara penyebaan budaya, dalam pemeanan teater, terdapat berbagai macam masalah yang di ungkapkan seperti masalah kehidupan sehari-hari, masalah moal, mengungkap sejarah masa lalu dan lain-lain. Melalui teater, tokoh-tokoh dalam pementasan menyampaikan amanat.
Di dalam Indonesia, tater mengalami perkembangan dari tahun 1920-an sampai dengan saat ini. Teater di Indonesia sangat banya contohnya seperti Makyong, Wayang, Mamanda, Lenong, Ketoprak, Ludruk dan lain-lain.
B. Saran
Mungking dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, tapi penyusun akan mencoba untuk memperbaiki kekurangan dan kesalahan itu untuk kedepannya. Didalam pembuatan ini penyusun mencari sumber materi dari internet.
Untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan tersebut diharapkan kritik dan saran pembaca untuk lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Santosa Eko,dkk. 2008.Seni Teater Jilid I untuk SMK. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Tolong kerja samanya dengan berkomentar menggunakan bahasa yang sopan, baik, dan bijak