BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketenteraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut "stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya disekelilingnya[1].
Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu itu dipulihkan kembali. Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu pengadilan. Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa atau negara. Di mana- mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI UMUM
1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum[2](kecuali perkara tertentu dinyatakan tertutup untuk umum);
2. PU diperintahkan untuk menghadapkan terdakwa ke depan persidangan dalam keadaan bebas;
3. Terdakwa ditanyakan identitasnya dan ditanya apakah sudah menerima salinan surat dakwaan;
4. Terdakwa ditanya pula apakah dalam keadaan sehat dan bersedia untuk diperiksa di depan persidangan (kalau bersedia sidang dilanjutkan);
5. Terdakwa ditanyakan apakah akan didampingi oleh Penasihat Hukum (apabila didampingi apakah akan membawa sendiri, kalau tidak membawa sendiri akan ditunjuk PH oleh Majlis Hakim dalam hal terdakwa diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih/pasal 56 KUHAP ayat (1);
6. Dilanjutkan pembacaan surat dakwaan;
7. Atas pembacaan surat dakwaan tadi terdakwa (PH) ditanya akan mengajukan eksepsi atau tidak;
8. Dalam terdakwa/PH mengajukan eksepsi maka diberi kesempatan dan sidang ditunda;
9. Apabila ada eksepsi dilanjutkan tanggapan JPU atas eksepsi (replik);
10. Selanjutnya dibacakan putusan sela oleh Majlis Hakim;
11. Apabila eksepsi ditolak dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara (pembuktian)
12. Pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh PU (dimulai dari saksi korban);
13. Dilanjutkan saksi lainnya;
14. Apabila ada saksi yang meringankan diperiksa pula, saksi ahli Witness/expert)
15. Pemeriksaan terhadap terdakwa;
16. Tuntutan (requisitoir);
17. Pembelaan (pledoi);
18. Replik dari PU;
19. Duplik
20. Putusan oleh Majlis Hakim.
B. TATA URUTAN DAN TAHAP-TAHAP SIDANG PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI
1. SIDANG PERTAMA
Sidang ditetapkan oleh Majelis Hakim dan dibuka dengan cara sebagai berikut :
a) Majelis Hakim Memasuki Ruang Sidang
a. Yang pertama sekali memasuki ruang sidang adalah: panitera pengganti.jaksa penuntut umum, dan penasehat hukum serta pengunjung, masing-masing duduk di tempat yang telah ditempatkan;
b. Pejabat yang bertugas sebagai protocol (biasanya dilakukan oleh PP) mengumumkan bahwa Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri”,termasuk JPU dan PH;
c. Majelis Hakim memasuki ruang sidang dengan melalui pintu khusus, yang terdepan Hakim ketua dan diikuti Hakim anggota I (senior) dan Hakim anggota II (yunior);
d. Majelis Hakim duduk di tempatnya masing-masing degan posisi : Hakim ketua di tengah dan Hakim anggota I berada di sebelah kanan dan Hakim anggota II di sebelah kiri, hadirin dipersilahkan duduk kembali oleh protocol;
e. Hakim ketua membuka sidang dengan kata-kata “sidang pengadilan negeri……..yang memeriksa perkara pidana nomor……..atas nama terdakwa…….pada hari…tanggal….dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum”, sambil mengetuk palu sebanyak 3x.
b) PemanggilanTerdakwa Masuk ke Ruang Sidang
a. Hakim ketua bertanya ke JPU :”apakah terdakwa siap untuk dihadirkan pada sidang hari ini ?”. jika JPU tidak bisa menghadirkan terdakwa maka Hakim harus menunda persidangan pada waktu yang ditentukandengan perintah kepada JPU untuk menghadirkan terdkakwa pada sidang berikutnya;
b. Jika JPU siap untuk menghadirkan terdakwa, maka Hakim ketua memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masukke ruang sidang;
c. JPU memerintahkan pada petugas agar terdakwa dibawa masuk ke ruang sidang;
d. Petugas membawa terdakwa masuk ke ruang sidang dan mempersilahkan duduk di kursi pemeriksaan. Jika terdakwa tersebut ditahan, biasanya dari ruang tahanan pengadilan hingga keruang sidang terdakwa dikawal oleh beberapa petugas. sekalipun demeikian,terdakwa harus diperhadapkan dalam keadaan bebas, artinya tidak perlu diborgol;
e. Setelah terdakwa duduk di kursi pemeriksaan, Hakim ketua mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah terdakwa dalam keadaan sehat dan siap untuk diperiksa ?
2. Menanyakan identitas terdakwa: nama, umur, alamat,dll.
f. Hakim selanjutnya bertanya : apakah didampingi PH ?
1. Jika terdakwa didampingi PH, maka Hakim menegaskan hak terdakwa untuk didampingi PH dengan memberi kesempatan kepada terdakwa untuk mengambil sikap sebagai berikut :
- Maju sendiri (tanpa didampingi PH
- Mengajukan permohonan pada pengadilan agar ditunjukkan PH untuk mendampingi secara cumc-Cuma;
- Meminta waktu kepada meajelis untuk mencari PH sendiri;
2. Jika terdakwa didampingi PH,maka proses selanjutnya adalah:
· Hakim menanyakan kepada PH apakh benar dalam sidang ini ia bertindak sebagai PH terdakwa sekaligus meminta kepada PH untuk menunjukkan memperlihatkan kartu advokatnya dan menunjukkan surat kuasa khusus;
· Setelah Hakim memriksa kartu advokat dan surat kuasa, selanjutnya memperlihatkan kepada Hakim anggota yang sebelah kanan kemudaian Hakim yang sebelah kiri,baru kemudian pada JPU.
c) Pembacaan Surat Dakwaan
1. Hakim ketua mempersilahkan kepada JPU untuk membacakan surat dakwaan dan meminta kepada terdakwa untuk mendengarkan dengan seksama
2. JPU membacakan surat dakwaan dengan 2 cara :
Duduk dan berdiri. Jika surat dakwaannya panjang maka pembacaannya dapat digilir sesama JPU
3. Selanjutnya Hakim Ketua menanyakan kepada terdakwa :”apakah ia sudah paham /mengerti tentang apa yang didakwakan ? apabila terdakwa tidak mengerti, maka JPU atas permintaan Hkim ketua,wajib memberi penjelasan seperlunya.
d) Pengajuan Eksepsi (keberatan)
1. Hakim ketua menanyakan pada terdakwa atau Phnya, apakah akan mengajukan tanggapan atau keberatan atas surat dakwaan JPU
2. Pertama-tama Hakim bertanya pada terdakwa dan memberi kesempatan untuk menangapi, selanjutnya kesempata kedua diberikan kepada Phnya
3. Apabila terdakwa/Phnya tidak mengajukan eksepsi,maka persidangan dilanjutkan pada tahap pembuktian
4. Apabila terdakwa/Phnya akan mengajukan eksepsi,maka Hakim bertanya kepada terdakwa/Phnya,apakah telah siap untuk membacakan eksepsi
5. 5. Apabila terdakwa/PH telah siap, maka Hakim ketua menyatakan sidang ditunda untuk memberi kesempatan pada terdakwa/PH untuk mengajukan eksepsi pada hari sidang berikutnya
6. Apabila terdakwa/PH telah siap membacaka eksepsi, maka Hakim ketua mempersilahkan pada terdakwa/ PH untuk membacakan eksepsinya, dan eksepsi ini bisa diajukan lisan maupun tertulis
7. Jika eksepsi secara tertulis, mka setelah dibacakan eksepsi tersebut diserahkan kepada Hakim dan salinannya diberikan kepada JPU. Tata cara membacanya sama dengan waktu JPU membacakan surat dakwaa. Eksepsi ini dapat juga diajukan oleh terdakwa sendiri atau kedua-duanya bersama-sama mengajukan eksepsi,dan biasa juga terdakwa menyerahkan sepenuhnya kepada PH
8. Apabila kedua-duanya mengajukan eksepsi, maka kesempatan pertama diberikan kepada terdakwa lebih dahulu,setelah itu PH nya
9. Setelah pembacaan eksepsi dan terdakwa/PH, hakim ketua memberi kesempatan pada JPU untuk mengajukan tanggapan atas eksepsi pada sidang berikutnya
10. Atas eksepsi beserta tanggapan tersebut, selanjutnya hakim ketua meminta waktu untuk mempertimbangkan dan menyusun “putusan sela”
11. Apabila majelis hakim berpendaat bahwa pertimbangan untuk memutuskan permohonan eksepsi tersebut mudah/sederhana, maka sidang dapat diskors selama beberapa menit untuk menentukan putusan sela
12. Tata cara skorsing sidang ada 2 macam :
Cara I : majelis haki meninggalkan ruang sidang untuk membahas/mempertimbangkan putusan di ruang hakim, sedangakan JPU, terdakwa/PH serta seluruh hadirin tetap tinggal di tempat
Cafra II: hakim ketua mempersilahkan semua yang hadir supaya keluar dari ruang sidang selanjutnya petugas menutup ruang sidang dan majelis hakim merundingkan putusan sela dalam ruang sidang(cara ini paling sering dipakai)
13. Apabila majelis hakim berpendapat bahwa memerlukan waktu yang agak lama dalam mempertimbangkan putusan sela tersebut, maka sidang dapat ditunda dan dibacakan padahari sidang berikutnya
e) Pembacaan/pengucapan putusan sela
1. Setelah hakim mecabut skorsing atau membuka sidang kembali dengan ketukan palu 1x, hakim ketua menjelaskan pada para pihak yang hadir dipersidanganbahwa acara selanjutnya dalah pembacaan atau pengucapan putusan sela
2. Tata caranya adalah :putusan sela tersebut diucapkan/dibacakan oleh hakim ketua sambil duduk dikursinya. Apabila naskah putusan sela tersebut panjang, tidak menutup kemungkinan putusan sela tersebut dibacakan secara bergantian dengan hakim anggota. Pembacaan amar putusan di akhiri dengan ketukan palu 1x
3. Secara garis besar ada 3 kemungkinan isi putusan sela:
a. Eksepsi terdakwa/PH ditolak, sehingga pemeriksaan terhadap terdakwa tersebut harus dilanjutkan
b. Eksepsi terdakwa/PH diterima, sehingga pemeriksaan terhadap perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan (harus dihentikan)
c. Eksepsi terdakwa/PH baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, sehingga sidang harus dilanjutkan.
Setelah putusan sela diucapkan atau dibacakan, hakim ketua menjelaskan seperlunya mengenai garis besar isi putusan sela sekaligus menyampaikan hak JPU, terdakwa/PH untuk mengambil sikap menerima putusan tersebut atau menyatakan perlawanan[3].
2. SIDANG PEMBUKTIAN
Sebelum memasuki acara pembuktian, hakim ketua mempersilahkan terdakwa supaya duduknya berpindah dari kursi pemeriksaan ke kursi terdakwa yang berada di samping kanan kursi PH.selanjutnya, procedure dan tata cara pembuktian adalah sebagai berikut:
a) Pembuktian Oleh Jaksa Penuntut Umum
1. Pengajuan saksi yang memberatkan (saksi a charge)
a. Hakim ketua bertanya kepada JPU apakah telah siap menghadirkan saksi-saksi pada sidang hari ini ?
b. Apabila JPU telah siap, maka hakim segera memerintahkan kepada JPU untuk menghadirkan saksi seorang demi seorang ke dalam ruang sidang
c. Saksi yang pertama kali diperiksa adalah”saksi korban”. Dan setelah itu baru saksi yang lain yang dipandang relevan dengan tujuan pembuktian mengenai tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa, baik saksi yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara maupun saksi tambahan yang diminta oleh JPU selama sidang berlangsung
d. Tata cara pemeriksaan saksi:
1. JPU menyebutkan nama saksi yang akan diperiksa
2. Petugas membawa saksi masuk ke ruang sidang dan mempersilahkan saksi untuk duduk di kursi pemeriksaan
3. Hakim ketua bertanya kepada saksi tentang :
a. Identitas saksi)nama, umur, alamat, pekerjaan, agama, dll)
b. Apakah saksi kenal dengan terdakwa(apabila perlu hakim meminta kepada saksi untuk mengamati wajah terdakwa dengan seksama guna memastikan jawabannya
c. Apabila saksi mempunyai hubungan darah (sampai derajat berapa) dengan terdakwa, apakah saksi memiliki hubungan suami/istri dengan terdakwa,atau apakh saksi terikat hubungan kerja dengan terdakwa
4. Apabila perlu hakim dapat pula bertanya apakah saksi sekarang dalam keadaan sehat wal afiat dan siap diperiksa sebagai saksi
5. Hakim ketua meminta kepada saksi untuk besedia mengucapkan sumpah/janji sesuai dengan keyakinannya.
6. Saksi mengucapkan sumpah menurut agama/keyakinannya dipandu oleh hakim dan pelaksanaan sumpah dibantu oleh jurusumpah
7. Tatacara pelaksanaan sumpah yang lazim dipergunakan di PN yaitu :
a. Saksi dipersilahkan berdiri agak ke depan
b. Untuk saksi yang beragama islam, cukup berdiri tegap saat melafalkan sumpah,dan petugas berdiri di belakangnya sambil mengangkat al qur’an di atas kepala saksi.untuk saksi yang beragam kristen /katolik petugas membawakan injil(akitab) di sebelah kiri saksi, pada saat saksi melafalkan sumpah tangan kiri saksi diletakkan diatas alkitab dan tangan kanan saksi dan jari tengah dan jari telunjuk membentuk huruf v (victoria) untuk yang beragama kristen atau mengacungkan jari telunjuk, jari tengah dan jari manis untuk yang beragama katolik. sedangkan untuk agama lainnya menyesuaikan
c. Hakim meminta agar saksi megikuti kata-kata yang dilafalkan oleh hakim
d. Lafal sumpah saksi :”saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya
e. Untuk dsksi yang beragama islam,lafal sumpah diawali dengan ucapa :”wallahi….atau demi Allah ….”,untuk saksi ynag beragama katolik/kristen protestan lafal sumpah diakhiri dengan ucapan :”semoga tuhan menolong saya”. Untuk saksi yang beragama hindu lafal sumpah diawali dengan ucapan :”om atah parama wisesa…”. Untuk saksi yang beragama buddha lafal sumpah diawali dengan lafal :”demi sang hyang adi budha…..”.
8. Hakim ketua mempersilahkan duduk kembali dan mengingatkan bahwa saksi harus memberi keternagan yang sebenarnya, sesuai dengan apa yang dialaminya, apa yang dilihatnya, atau apa yang didengarnya sendiri.jika perlu hakim juga dapat mengingatkan bahwa apabila saksi tidak mengatakan yang sesungguhnya, ia dapat dituntut karena sumpah palsu. Hakim ketu mulai memeriksa saksi dengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa.
9. Setelah hakim kutua selesai mengajukan pertanyaan pada saksi, hakim anggota, JPU, terdakwa/PH juga diberi kesenmpata untuk mengajukn pertanyaan pada saksi
10. Pertanyaan ang diajukan kepada saksi diarahkan untuk menangkap fakta yang sebenarnya, sehingga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Materi pertanyaan diarahkan untuk pembuktian unsur-unsur perbuatan yang didakwakan
b. Pertanyaan harus relevan dan tidak berbelit-belit, bahasa dan penyampaiannya harus dipahami oleh saksi
c. Pertanyaan tidak boleh bersifat menjerat atau menjebak saksi
d. Pertanyaan idak boleh bersifat peng kualifikasian delik
e. Hindari pertanyaan yag bersifat pengulangandari pertanyaan yang sudah di tanyakan, kecuali hal tersebut ditujukan dalam rangka memberi penekanan pada suatu fakta tertentu atau penegasan terhadap keterangan yang bersifat ragu-ragu
Hal tersebut di atas pada dasarnya bersifat sangat merugikan terdakwa atau pemeriksaan itu sendiri, sehinga pabila dalam pemeriksaan saksi hal tersebutterjadi maka pihak yang mengetahui dan merasa dirugikan atau merasa keberatan dapat mengajukan keberatan/interupsi pada hakim ketua dengan menyebutkan alasannya. sebagai contoh pertanyaan JPU bersifat menjerat terdakwa, maka PH dapat protes dengan kata-katanya kira-kira sbb :”interupsi ketua majelis ….pertanyaan JPU menjerat saksi”. Satu contoh lagi,jika pertanyaan PH berbelit-belit maka JPU dapat mengajukan protes, misalnya dengan kata-kata :”keberatan ketua majelis ….pertanyaanPH membingungkan saksi”. Atas keberatan atau interupsi tersebut hakim ketua langsung menanggapi dengan menetapkan bahwa interupsi/keberatan ditolak atau diterima. Apabila interupsi ditolak maka pihak yang sedang mengajukan pertanyaan dipersilahkan untuk melanjutkan pertanyaannnya, sebaliknyajika ditolak maka pihak yang menhgajukan pertanyaan diminta untuk mengajukan pertanyaan lain.
11. Selama memriksa saksi hakim dapat menunjukkan barang bukti pada saksi guna memastikan kebenaran yang berkaitan dengan barang bukti tersebut.
12. Setiap kali saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua menanyakan kepada terdakwa, bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut ?
a. Setelah pemeriksaan terhadap satu saksi selesai,hakim ketua mempersilahkan duduk saksi tersebut untuk duduk di kursi saksi yang terletk di belakang kursi pemeriksaan
b. Selanjutnya hakim ketua bertanya kepada JPU, apakah masih ada saksi yang akan diajukan pada sidang hari ini. Demikian dan seterusnya hingga JPU mengatakan tidak ada lagi saksi yang akan diajukan
c. Apabial ada saksi karena halangan yang sah tidak dapat dihadirkan dalam persidangan maka keterangan yang telah diberikan pada saat penyidikan sebagaimana tercatat dalam BaP dibacakan.dalam hal ini yang bertugas membacakan berita acara tersebut adalaha hakim ketua, namun seringkali hakimketua meminta agar JPU yang membacakan
2. Pengajuan alat bukti lainnya guna mendukung argumentasi JPU.
a. Hakim ketua menanyakan apakah JPU masih akan mengajukan alat bukti bukti lainnya seperti: keterangan ahli dan surat serta tambahan barang bukti yang ditemukan selama proses persidangan
b. Apabila JPU mengatakan masih, maka tata cara pengajuan bukti-bukti tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tata cara pengajuan saksi ahli sama seperti tata cara pengajuan saksi lainnya. perbedaannya yaitu keterangan yang diberikan oleh ahli adalah pendapatnya terhadap suatu kebenaran sesuai dengan pengetahuan atau bidang keahliannya, sehingga lafal sumpahnya disesuaikan menjadi : “ saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memberikan pendapat soal-soal yang dikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya”.
2. Tata cara pengajuan alat bukti surat(hasil pemeriksaan laboratorium criminal, visum e repertum dll) adalah : JPU maju kedepan dan menunjukkan alat bukti surat yang diajukan pada mejelis hakim. hakim ketua dapat memanggil terdakwa atau PH untuk maju kedepan supaya dapat menyaksikan alat bukti surat yang diajukan
3. Tata cara pengajuan alat bukti, JPU pada petugas untuk membawa masuk barang buti ke ruang sidang. apabila barang bukti tersebut bentuknya tidak besar dan tidak berat (uang pistol,pakaian dll), dapat langsung diletakan di meja hakim jika bentuknya besar namun bisa dibawa masuk ke ruang sidang (misalnya sepeda),cukup diletakkan di lantai ruang sidang saja. Jika bentuknya besar dan tidak bisa dibawa masuk ke ruang sidang (misalnya mobil),majelis hakim diikuti JPU, terdakwa/PH harus keluar dari ruang sidang untuk memeriksabarang bukti tersebut. Demikian juga mengenai barang bukti yang karna sifat dan jumlahnya tidak dapat seluruhnya diajukan, maka cukup diajukan samplenya saja.
c. Apabila JPU mengatakan bahwa semua bukti-bukti telah diajukan, maka hakim ketua memberi kesempatan pada terdakwa/PH untuk mengajukan bukti-bukti
b) Pembuktian Oleh Terdakwa/ Penasihat Hukum
1. Pengajuan saksi yang meringankan terdakwa(saksi a de charge) :
a. Hakim ketua bertanya kepada terdakwa/PH apakah ia akan mengajukan saksi yang menguntungkan/meringankan (a de charge)
b. Jika terdakwa/PH tidak akan mengajukan saksi ataupun bukti lainnya,maka ketua majelis menetapkan bahwa sidang akan dilanjutkan pada acara pengajuan tuntutan oleh JPU
c. Apabila terdakwa/PH akan dan telah siap mengajukan saksi yang meringankan, maka hakim ketua segera memerintahkan agar saksi di bawaah masuk ke ruang sidang untuk diperiksa
d. Selanjutnya tata cara pemeriksaan saksi A de charge sama dengan pemeriksaan saksi A charge, dengan titik berat pada pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pengungkapan fakta yang bersifat membalik/melemahkan dakwaan JPU atau setidaknya meringankan terdakwa.
2. Pengajuan alat bukti lainnya guna mendukung argumentasi terdakwa/PH
a. Hakim ketua menanyakan apakah terdakwa/PH masih akan mengajukan bukti-bukti lainnya seperti : keterangan ahli dan surat serta tambahan barang bukti yang ditemukan selama proses persidangan
b. Apabila terdakwa/PH menyatakan masih, maka tata cara pengajuan bukti tersebut sama dengan cara pengajuan oleh JPU
c. Apabila terdakwa/PH mengatakan bahwa semua bukti-bukti telah diajukan, maka hakim ketua menyatakan bahwa acara sidang selanjutnya adalah pemeriksaan pada terdakwa
c) Pemeriksaan Pada Terdakwa
1. Hakim ketua mempersilahkan kepada terdakwa untuk duduk di kursi pemeriksaan
2. Terdakwa berpindah dari kursi terdakwa ke kursi pemeriksaan
3. Hakim bertanya kepada terdakwa :”apakah terdakwa dalam keadaan sehatdan siap untuk diperiksa”
4. Hakim mengingatkan pada terdakwa untuk menjawab semua pertanyaan dengan jelas dan tidak berbelit-belit sehingga tidak mempersulit jalannya persidangan
5. Hakim ketua mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada terdakwa diikuti oleh hakim anggota, JPU dan PH. Majelis hakim dapat menunjukkan segala jenis barangbukti dan menanyakan pada terdakwa apakah ia mengenal benda tersebut. Jika perlu hakim juga dapat menunjukkan surat-surat atau gambar/photo hasil rekonstruksi yang dilampirkan pada BAP pada terdakwa untuk meyakinkan jawaban atas pertanyaan hakim atau untuk menegaskan suatu fakta
6. Selanjutnya tata cara pemeriksaan pada terdakwa sama pada tata cara pemeriksaan saksi kecuali dalam hal sumpah
7. Apabila terdakwanya lebih dari satu dan diperiksa bersama-sama dalam suatu perkara, maka pemeriksaannya dilakukan satu persatu dan bergiliran. apabila terdapat ketidaksesuaian jawaban diantara para terdakwa, maka hakim dapat meng-cross-check-kan antara jawaban terdakwa yang satu dengan terdakwa lainnya
8. Setelah terdakwa (para terdakwa) selesai diperiksa maka hakim ketua menyatakan bahwa seluruh rangkaian sidang pembuktian telah selesai dan selanjutnya hakim ketua memberi kesempata kepada JPU untuk mempersiappkan surat tuntutan (requisitoir) unyuk diajukan pada hari sidang berikutnya,
3. SIDANG PEMBACAAN TUNTUTAN, PEMBELAAN DAN TANGGAPAN-TANGGAPAN
1) Pembacaan Tuntutan (requisitoir)
1. Setelah membuka sidang, hakim ketua menjelaskan bahwa acara sidang hari ini adalah pengajuan tuntutan. Selanjutnya hakim ketua bertanyapada JPU apakah telah siap mengajukan tuntutan pada sidang hari ini
2. Apakah JPU sudah siap mengajukan tuntutan, maka hakim ketua mempersilahkan pada JPU untuk mengajukan/ membacakan tuntutannya. Sebelum tuntutan dibacakan, maka hakim ketua meminta kepada terdakwa agar menyimak dengan baik isi tuntutan
3. JPU membacakan tuntutan. Tata cara pembacaan tuntutan sama dengan tata cara pembacaan dakwaan
4. Setelah selesai membacakan tuntutan, JPU menyerahkan naskah tuntutan (asli) pada hakim ketua dan salinannya pada terdakwa/PH
5. Hakim ketua bertanya kepada terdakwa apakah terdakwa paham dengan isi tuntutan yang telah dibacakan oleh JPU tadi. Jika perlu, hakim ketua menjelaskan sedikit inti dari tuntutan tersebut,terutama yang berkaitan dengan kesalahan terdakwa dan hukuman yang dituntutkan oleh JPU
6. Hakim ketua bertanya pada terdakwa/PH, apakah akan mengajukan pembelaan (pledoi)
7. Apabila terdakwa/PH menyatakan akan mengajukan pembelaan maka hakim ketua memberikan kesempatan pada terdakwa/ PH untuk mempersiapkan pledoi
b) Pengajuan/Pembacaan Nota Pembelaan (Pledoi)
1. Hakim ketua bertanya kepada terdakwa apakah akan mengajukan pembelaan. Jika terdakwa akan mengajukan pledoi terhadap dirinya, maka hakim menanyakan kepada terdakwa apakah akan mengajukan sendiri pembelaannya atau menyerahkan sepenuhnya kepada PH nya
2. Jika terdakwa mengajukan sendiri pembelaannya, maka pertama-tama yang diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan adalah terdakwa. Sebelumnya hakim ketua menanyakan pada terdakwa apakah akan mengajukan secara lisan atau tulisan
3. Terdakwa mengajukan pembelaan :
a. Apabila terdakwa mengajukan pembelaan secara lisan, maka pada umumnya terdakwa mengajukan pembelaannya sambil tetap duduk di kursi pemeriksaan dan isi pembelaan tersebut selain dicatat oleh panitera dalam berita acara pemeriksaan, juga dicatat oleh pihak yang bekepentingan termasuk hakim
b. Apabila terdakwa mengajukan pembelaan secara tertulis, maka hakim dapat meminta agar terdakwa membacakan pembelaannya sambil berdiri di depan kursi pemeriksaan dan setelah selesai dibaca nota pembelaan diserahkan pada hakim
4. Setelah terdakwa membacakan pembelaannya atau jika terdakwa telah menyerahkan sepenuhnya kepada PH, maka hakim ketua bertanya kepada PH, apakah telah siap dengan nota pembelaannya
5. Apabila PH telah siap dengan pembelaan, maka hakim ketua segera mempersilahkan PH untuk membacakan pembelaannya. Adapun tata cara pembacaan pembelaan oleh PH sama dengan pengajuan eksepsi
6. Setelah pembacaan nota pembelaan selesai, maka naskah nota pembelaan (asli) diserahkan pada hakim ketua,dan salinannya diserahkan pada JPU dan terdakwa
7. Selanjutnya hakim ketua bertanya kepada JPU apakah ia akan mengajukan tanggapan terhadap pembelaan terdakwa/PH (replik)
8. Apabila JPU akan menanggapi pembelaan terdakwa/PH, maka hakim ketua memberi kesempatan pada JPU untuk mengajukan replik
c) Pengajuan/Pembacaan Tanggapan-tanggapan (replik dan duplik)
1. Apabila JPU telah siap dengan repliknya, maka hakim ketua segera mempersilahkan JPU untuk membacakannya
2. Tatacara pembacaan replik sama dengan pembacaan requisitoir
3. Setelah replik diajukan/dibacakan oleh JPU maka hakim ketua memberi kesempatan pada terdakwa/PH untuk mengajukan duplik
4. Apabila terdakwa/PH telah siap dengan dupliknya, maka hakim ketua mempersilahkannya untuk membacakan
5. Tatacara pembacaan duplik sama dengan pembacaan pembelaan
6. Jika acara tersebut di atas telah selesai, maka hakim ketua sidang bertanya pada para pihak yang hadir dalam persidangan tersebut, apakah ada hal-hal yang akan diajukan dalam pemeriksaan. Apabila JPU,terdakwa/PH menganggap telah cukup, maka hakim ketua menyatakan bahwa “pemeriksaan dinyatakan ditutup”
7. Hakim ketua menjelaskan bahwa acara sidang selanjutnya adalah pembacaan putusan, oleh sebab itu guna mempersiapkan konsep putusannya hakim meminta agar sidang ditunda untuk beberapa waktu
4. SIDANG PEMBACAAN PUTUSAN
Sebelum menjatuhkan putusan, hakim mempertimbangkan berdasarkan atas surat dakwaan, segala sesuatu yang terbukti di persidangan, tuntutan pidana, pembelaan, dan tanggapan-tanggapan (replik-duplik). Apabila perkara ditangani oleh majelis hakim, maka dasar-dasar pertimbangan tersebut harus dimusyawarahkan oleh majelis hakim. Setelah naskah putusan siap dibacakan, maka langkah selanjutnya adalah :
a. Hakim ketua menjelaskan bahwa acara sidang hari ini adallah pembacaaan putusan. Sebelum putusan dibacakan oleh hakim ketua meminta agar para pihak yang hadir memperhatikan isi putusannya dengan seksama
b. Hakim ketua muai membacakan putusan. Tata cara pembacaan putusan sama dengan tata cara pembacaan putusan sel. Apabia naskah putusan panjang maka hakim anggota dapat menggantikan secara bergantian
c. Pada saat hakim akan membaca/mengucapkan amar putusan (sebeum mulai membaca kata” mengadii….”) maka hakim ketua memerintahkan kepada terdakwa untuk berdiri di tempat
d. Setelah amar putusan dibacakan seluruhnya, hakim ketua mengetukkan palu 1x dan mempersilahkan terdakwa untuk duduk kembali
e. Hakim ketua memjelaskan secara singkat isi putusannya terutama yang berkaitan dengan dengan amar putusannya hingga terdakwa mengerti terhadap putusan yang dijatuhkan terhadapnya
f. Hakim ketua menjelaskan hak-hak para pijak terhadap putusan tersenut. Selnjutnya hakim ketua menawarkan pada terdakwa untuk menentukan sikapnya, apakah akan menyatakan siap menerima putusan tersebut, menyatakan menerima dan akan mengajukan grasi, menyatakan naik banding atau berpikir-pikir. Dalam hal ini terdakwa dapat diberi waktu sejenak untuk berkonsultasi dengan PH nya atau terdakwa mempercayakan haknya kepada PH. Hal yang sama jua ditawarkan kepada JPU. Jika terdakwa/PH menyatakan sikap menerima, maka hakim ketua memerintahkan agar terdakwa menandatangani berita acara menerima pernyataan menerima putusan yang yang teah disiapkan oleh PP. jika terdakwa mengajukan banding, maka terdakwa diminta agar segera menandatangani akta permohonan banding (dapat dikuasakan kepada PH). Jika terdakwa/PH menyatakan pikir-pikir dulu,maka hakim ketua menjelaskan bahwa masa pikir-pikir diberikan selam 7 hari, apabila setelah 7 hari terdakwa tidak menyataka sikap, maka terdakwa dianggap menerima putusan. Hal ini juga sama juga dilakukan terhadap JPU
g. Apabila tidak ada hal-hal yang akan disampaikanlagi, maka hakim ketua menyatakan bahwa seuruh rangkaian acara persidangan perkara pidana yang bersangkutan telah selesai dan menyatakan sidang ditutup. Tata caranya adlah : setelah mengucapkan kata-kata “ ……sidang dinyatakan ditutup” maka hakim ketua mengetukkan palu 3x
h. Pejabat yang bertugas sebagai p[rotokol mengumumkan bahwa hakim/majelis hakim akan meninggalkan ruang sidang, dengan kata-kata kurang lebih “ hakim/majelis hakim akan meningalkan ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri
i. Semua yang hadir dalam sidan tersebut, termasuk PH dan JPU turut berdiri
j. Hakim/majelis hakimmeningalkan ruang sidang dengan meallui pintu khusus, muai dari yang terdepan Hakim ketua diikuti oeh hakim anggota 1 dan kemudian hakim anggota II
k. Para pengunjung sidang, JPU,PH, terdakwa berangsur-angsur meninggalkan ruang sidang. apabila putusan menyatakan terdakwa tetap ditahan, maka pertama-tama yan meninggalkan ruang sidang adalah terdakwa dengan dikawal petugas.
C. ATURAN ATURAN HUKUM
1. Peradilan Agama
Setelah Indonesia merdeka, dasar yuridis Peradilan Agama dikuatkan dengan beberapa Undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah disamping dasar hukum yang telah dikuatkan dan disebutkan. Perundang-undangan[4]inilah yang kemudian menunjukkan keberadaan Peradilan Agama secara eksis di Indonesia, masing-masing adalah:
1. Perundang-undangan dan peraturan;
2. DekritPresiden.
3. AturanPresiden No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945, segala bentuk badan-badan Negara masihberlaku selama belum ada perubahan dan tidak bertentangan dengan Undang-undangDasar 1945.
4. KeputusanPemerintah No. 1 Tahun 1946 tentang pembentukan Departemen Agama.
5. Undang-undangNo. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talaq, dan rujuk.
6. Undang-undangNo. 22 Tahun 1952 peraturan tentang kemungkinan hilangnya surat putusan dansurat-suratpemeriksaan pengadilan.
7. Undang-undangNo. 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1946.
8. Undang-undangNo. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok-pokok kehakiman. Kemudiandari Undang-undang inilah para pakar hukum mengatakan bahwa Peradilan Agamakeberadaannya semakin kuat karena telah masukdalam Tata Hukum di Indonesia.
9. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
10. Undang-undang No. 14 Tahun 1975 tentangmahkamah Agung.
11. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama.
a) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yaitu PP No. 27Tahun 1960 tentang uang honorarium dan juru sumpah.
b) Ketetapan Pemerintah.
1. No. 1/1945 s/d Tahun 1946 tentang mengadakanDepartemen Agama dan balai Pemuda yang menjadi Departemen Sosial.
2. No. 5/1945 s/d Tahun 1946 tentang MahkamahIslam Tinggi bagian Kementrian Kehakiman dipindahkan ke Menteri Agama (AbdulGani Abdullah, 1991: 9).
c) Peraturan Pemerintah.
1. PP No. 10 Tahun 1947 tentang sumpah jabatanHakim, Jaksa, Panitera, dan Panitera Pengganti.
2. PP No. 19 Tahun 1947 menambah PeraturanPemerintah No. 10 Tahun 1947.
3. No. 45Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk luarJawa dan Madura, dan sebagian luar Kalimantan Selatan (Djamil Latif, 1983: 13).
4. PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaanUndang-undang Perkawinan.
5. PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan TanahMilik.
6. PP No. 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinandan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
7. PP No. 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinandan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Perubahan atas Peraturan PemerintahNo. 10 Tahun 1983.
d) Keputusan Presiden
1. No. 18Tahun 1977 tentang tunjangan jabatan Hakim pada Peradilan Agama.
2. No. 17Tahun 1985 tentang Organisasi kepaniteraan atau Sekretariat Jendral MahkamahAgung.
e) Peraturan Mahkamah Agung
1. No. 1 Tahun 1980 tentang peninjauan kembaliputusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. No. 1 Tahun 1982 tentang Peraturan MahkamahAgung.
f) Keputusan Bersama
Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Agama RI, dan Menteri KehakimanRI: KMA/010/SKB/II/1988 tentang tata cara bantuan tenaga Hakim untuk lingkunganPeradilan Agama dan latihan jabatan bagi Hakim serta Panitera Pengadilan Agama.
g) Keputusan Ketua Mahkamah Agung
No. KMA/013/SK/III/1988 tentang pola pembinaan dan pengendalian administrasi perkara Peradilan Agama.
h) Peraturan Menteri Agama RI.
1. No. 1 Tahun1952 tentang Wali Hakim
2. No. 4 Tahun1952 tentang Wali Hakim untuk Jawa dan Madura
3. No. 1 Tahun1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
i) Penetapan Pemerintah
1. No. 5 Tahun1952 tentang Pembentukan Kembali Peradilan Agama Bangil
2. No. 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah diSumatra
3. No. 4 Tahun1958 tentang Pembentukan kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah diKalimantan
4. No. 5 Tahun1958 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah diSulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.
5. No. 25 Tahun 1958 tentang Pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ahdi Tanjung Karang untuk daerah Lampung Utara dan Kota Bumi.
j) KeputusanMenteri Agama RI
1. No. 23 Tahun 1966 tentang pembentukan kantorPeradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (Sumatra, Nusa Tenggara, Kalimantan danMaluku).
2. No. 61 Tahun 1961 tentang pembentukan cabangkantor Peradilan Agama cabang Jawa dan Madura.
3. No. 62 Tahun 1961 tentang pembentukan cabangkantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk Aceh dan Padang.
4. No. 85 Tahun 1961 tentang Pengakuan Badan PenasehatPerkawinan Penyelesaian Perceraian (BP4)
5. No. B/IV/2/5593/1966 tentang peleburan badanHakim syara’pada dewan Adat Maluku, Ternate kedalam Pengadilan Agama/ MahkamahSyar’iyah
6. No. 87 Tahun 1966 tentang Penambahan Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah tingkat II Sulawesidan Maluku.
7. No. 4 Tahun 1967 tentang perubahankantor-kantor Peradilan Agama untuk daerah khusus Jakarta (Abdul Gani Abdullah,1991: 11).
D. Peradilan militer
1. Dasar hukum keberadaan Pengadilan Militer :
1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara/Militer (KUHPM).
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3) Surat Keputusan bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman No. KEP/ 10/M/XII/1983 M.57.PR.09.03.th.1983 tanggal 29 Desember 1983 tentang Tim Tetap Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas.
4) Keputusan Pangab Nomor : KEP/01/P/I/1984 tanggal 20 Januari 1985 lampiran “K” tentang organisasi dan prosedur Badan Pembinaan Hukum ABRI.
5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.
6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.14/1985 tentang Mahkamah Agung.
8) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
9) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Tempat Kedudukan :
Peradilan Militer merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara.
Berdasarkan lampiran II Kep Panglima TNI Nomor : KEP/6/X/2003 tanggal 20 Oktober 2003 tentang daftar nama, tempat kedudukan dan daerah hukum Pengadilan Militer dan Oditurat Militer, Pengadilan Militer II-09 Bandung berkedudukan di daerah propinsi Jawa Barat yaitu Bandung dengan daerah hukum meliputi seluruh daerah di Jawa Barat.
3. Kompetensi Pengadilan Militer :
Pengadilan Militer II-09 Bandung mempunyai kewenangan :
a. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah : prajurit atau yang berdasar- kan UU dipersamakan dengan prajurit
b. Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
c. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
4. Yurisdiksi Pengadilan Militer II-09 Bandung :
Bahwa Pengadilan Militer II-09 Bandung mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI dengan pangkat Kapten kebawah yang :
a. Tempat kejadiannya berada didaerah hukum Pengadilan Militer II-09 Bandung.
b. Terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada didaerah hukum Pengadilan Militer II-09 Bandung (se-Jawa Barat).
5. Persyaratan sebagai Hakim Pengadilan Militer :
Adapun persyaratan Hakim Pengadilan Militer adalah sebagai berikut
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ;
b. Setia dan taat kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 ;
c. Tidak terlibat partai atau organisasi terlarang ;
d. Paling rendah berpangkat Kapten dan berijazah Sarjana Hukum ;
e. Berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum ; dan
f. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.
Sedangkan mengenai pengangkatan dan pemberhentian seorang Hakim Militer dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung[5].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Badan Peradilan yang Berada di bawah Mahkamah Agung Meliputi badan Peradilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu, sesuai dengan amandemen UUD 1945, ada Mahkamah Konstitusi yang juga menjalankan kekuasaan kehakiman bersama – sama dengan Mahkamah Agung.
Peradilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Sedangkan Peradilan Tinggi Negeri bertugas dan berwenang Pengadilan Tinggi Negeri bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto, Drs. ”Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara Untuk SMU” Jakarta, Erlangga, 2003
Masyhur Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan intemasional, Ghalia Indonesia
Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung
Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., Sistim Peradilan Berwibawa: Suatu Pencarian, FH UII Press, Yogyakarta, 2005. hlm. 15
[1] Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung
[2] Budiyanto, Drs. ”Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara Untuk SMU” Jakarta, Erlangga, 2003
[3] Masyhur Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan intemasional, Ghalia Indonesia
[4] Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., Sistim Peradilan Berwibawa: Suatu Pencarian, FH UII Press, Yogyakarta, 2005. hlm. 15
[5] Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, W. Versluys N.V., Jakarta, 1957. hlm. 101
Tolong kerja samanya dengan berkomentar menggunakan bahasa yang sopan, baik, dan bijak