2014 | Serba Serbi komplit

Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Pernikahan Jarak Jauh

No comments:

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Urusan perkawinan di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 serta diatur ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam. Saripati aturan-aturan Islam mengenai perkawinan, perceraian, perwakafan dan pewarisan ini bersumber dari literatur-literatur fikih Islam klasik dari berbagai madzhab yang dirangkum dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Kedua dasar hukum mengenai perkawinan dan urusan keluarga tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan hukum bagi rakyat Indonesia yang akan melaksanakan perkawinan. Namun dalam praktek pelaksanaan perkawinan yang berlaku di masyarakat, banyak muncul hal-hal baru yang bersifat ijtihad, dikarenakan tidak ada aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur hal-hal tersebut.
Kurang lebih satu dekade yang lalu, muncul peristiwa menarik dalam hal pelaksanaan akad nikah yang dilakukan secara tidak lazim dengan menggunakan media telepon. Kemudian status pernikahan ini dimohonkan pengesahannya melalui Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan status hukumnya dikukuhkan dengan dikeluarkannya Surat Putusan No. 1751/P/1989. Meski Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengesahkan praktek semacam ini, namun putusan ini tetap dianggap riskan. Kabarnya, Mahkamah Agung menegur hakim yang memeriksa perkara tersebut karena dikhawatirkan menimbulkan preseden yang tidak baik.
Peristiwa yang serupa dengan itu terulang kembali. Kali ini praktek akad nikah tertolong dengan dunia teknologi yang selangkah lebih maju dengan menggunakan fasilitas video teleconference. Teknologi video teleconference lebih mutakhir dari telepon, karena selain menyampaikan suara, teknologi ini dapat menampilkan gambar atau citra secara realtime melalui jaringan internet. Hal ini seperti yang dipraktekkan oleh pasangan Syarif Aburahman Achmad ketika menikahi Dewi Tarumawati pada 4 Desember 2006 silam. Ketika pelaksanaan akad nikah, sang mempelai pria sedang berada di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sedangkan pihak wali beserta mempelai wanita berada di Bandung, Indonesia. Kedua belah pihak dapat melaksanakan akad nikah jarak jauh berkat layanan video teleconference dari Indosat.
Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pasangan Sirojuddin Arif dan Iim Halimatus Sa'diyah. Dengan memanfaatkan teknologi ini, mereka melangsungkan akad nikah mereka pada Maret 2007 silam. Hanya perbedaannya adalah, kedua mempelai sedang berada di aula kampus Oxford University, Inggris, sedangkan wali mempelai berada di Cirebon, Indonesia ketika akad nikah dilangsungkan.
Fenomena seperti ini menggelitik untuk dikaji dan dikomentari oleh para pakar hukum keluarga Islam di Indonesia. Oleh sebab praktik akad nikah jarak jauh dengan menggunakan media teknologi ini belum pernah sekalipun dijumpai pada jaman sebelumnya. Praktek akad nikah pada jaman Nabi dan para Salafus shalih hanya menyiratkan diperbolehkannya metode tawkil, yakni pengganti pelaku akad apabila pihak pelaku akad (baik wali maupun mempelai pria) berhalangan untuk melakukannya. Oleh karena itu, penulis juga tertarik untuk memaparkan tentang fenomena nikah jarak jauh tersebut.

1.2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, penulis mengajukan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana hukum akad nikah melalui telepon?
2.      Apa dasar-dasar yang dipakai dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon?
3.      Bagaimana metode ijtihad dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon?

1.3.      Ruang Lingkup
Dalam makalah ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas pada materi kuliah Agama. Pembahasan lebih dikhususkan pada masalah pernikahan jarak jauh.

1.4.            Maksud dan Tujuan
Maksud dari penyusunan tugas ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi salah satu tugas mata kuliah Agama di Bina Sarana Informatika. Sedangkan tujuan dari penulisan tugas ini adalah:
1.      Mengembangkan kreativitas dan wawasan penulis.
2.      Memberikan uraian tentang analisa hukum Islam terhadap pernikahan jarak jauh.
3.      Menelaah lebih lanjut mengenai hukum nikah jarak jauh.

1.5.            Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan tugas ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut :
a.                   Metode Studi Pustaka
Metode yang dilakukan dengan membaca buku-buku serta referensi-referensi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tugas ini. Penulis membaca beberapa buku yang berkaitan dengan pernikahan menurut hukum Islam.
b.         Metode Browsing Internet, yaitu metode yang dilakukan dengan mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tugas ini di internet.


1.6.            Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembaca dalam mempelajari dan mengetahui isi makalah ini, berikut ini akan dijabarkan sistematika penulisan makalah ini, yaitu :
BAB I   PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang latar belakang penulisan, rumusan masalah, ruang lingkup, maksud dan tujuan, metode pengumpulan data, serta sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Bab ini merupakan bab utama makalah yang berisi tentang ........................
BAB III PENUTUP
Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang kesimpulan dan saran.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            Umum
Nikah atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulakn hak dan kewajiban antara keduannya. Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang tidak menikah.
Larangan tidak menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Al Hadid ayat 27 yang artinya “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rosul-Rosul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa Putra Maryam ; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ada RAHBANIYAH padahal Kami tidak mewajibkan kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adanya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliiharaan yang semestinya. Maka Kami berikan pada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.“ Rahbaniyah adalah tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Rosulullah saw. bersabda, Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR. Muslim No. 1401)
Anjuran untuk menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 21 yang artinya “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.“
 
2.1.1.   Hukum Nikah
            Hukum nikah ada 4, yaitu:
1.      Jaiz adalah boleh (merupakan dasar dari hukum nikah).
2.      Sunnah adalah bagi orang yang berkehendak dan cukup belanjanya (nafkah dan lain-lain).
Sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menggantikan kependetaan itu dengan agama yang lurus dan lapang.“
Abu Abbas berkata, “Tidak tercapai kesempurnaan orang beribadah sebelum ia kawin terlebih dahulu.“
3.      Wajib adalah bagi orang yang cukup mempunyai nafkah dan khawatir akan terjerumus maksiat.
4.      Makruh adalah bagi orang  yang tidak mampu memberi nafkah, namun sudah punya hasrat menikah yang kuat.

2.1.2.   Tujuan Nikah
Tujuan menikah adalah :
1.      Mengikuti Sunnah Rosul
      Sabda Nabi saw. yang artinya “Ada empat macam di antara sunnah pada Rosul yakni : berinai, memakai wangi-wangian, menggosok gigi dan menikah.“
2.      Membentuk keluarga sakinah, mawadah, dan warohmah (bahagia lahir dan batin) yang dapat terbina apabila masing-masing anggota keluarga melaksanakan fungsinya. Sebagaimana tersebut dalam Surat Ar Rum ayat 21 dan dalam UU RI Nomor 1 Tahun 1974.
3.      Untuk memenuhi kebutuhan biologis yang diridhoi Allah swt.
4.      Untuk memperoleh keturunan yang sah.

2.1.3.      Rukun Nikah
Pengertian rukun yaitu sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud kecuali dengannya. Rukun nikah ada 5, yaitu :
1.      Calon Suami
2.      Calon Istri
3.      Sighat akad (ijab qabul)
4.      Wali mempelai perempuan
      Sabda Nabi saw yang artinya “Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahan itu batal (tidak sah).“ (HR. Empat orang ahli hadist kecuali Nasa’i).
5.      Dua orang saksi
      Sabda Rosulullah saw. yang artinya “Tidak sah menikah melainkan dengan walinya dan dua orang saksi yang adil.“

2.1.4.   Akad Nikah
Ketika taaruf antara ikhwan dan akhwat sudah semua disepakati, maka disunahkan untuk segera mengkhitbahnya, dan segera dilangsungkan akad nikah untuk menghindari fitnah. Perlu kita ketahui bahwa dalam akad nikah hal-hal yang disyariatkan dan wajib ada adalah :
1.   Adanya suka sama suka antara kedua calon mempelai
2.   Adanya Wali
3.   Adanya Saksi
4.   Adanya Mahar
5.   Adanya Ijab Qabul 
Dan menurut sunnah, sebelum akad nikah dimulai, terlebih dahulu diadakan khutbah yang dinamakan ”khutbatun nikah”. 
Suka sama suka antara kedua calon mempelai adalah sebuah keharusan, karena mereka berdua yang akan menjalani hidup berumah tangga maka dibutuhkan keikhlasan diantara keduanya. Maka taaruf sebelum pernikahan dan melihat calon sebelum pernikahan sangat dianjurkan
Wali sebagaimana kita tahu adalah ayah dari calon mempelai wanita yang seagama, jika tidak ada maka bisa digantikan oleh kakak tertua yang laki-laki, atau jika memang sudah tidak ada sama sekali orang yang bisa dijadikan wali, maka diambilah wali hakim Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah dengan syarat sudah tidak ada lagi yang bisa mewakili atau menjadi wali bagi calon mempelai wanita.
            Saksi berfungsi sebagai alat bukti apabila ada pihak ketiga yang meragukan perkawinan tersebut. Juga mencegah pengingkaran oleh salah satu pihak. Syarat sebagai saksi nikah adalah laki-laki, muslim, adil, balig, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu. Saksi nikah minimal harus dua dan hadir serta menyaksikan secara langsung akad nikah, menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.
Mahar merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh.
            Dalam masalah mahar, wajib hukumnya seorang lelaki memuliakan wanita dan memberikan sesuatu yang paling bagus menurut kemampuannya, dan bagi wanita boleh meminta mahar kepada calon yang akan menikahinya, namun lebih baik kalau mahar yang diminta itu yang mudah di dapat dan tidak memberatkan calon suaminya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang paling ringan maharnya” (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang shahih).
Namun jika calon suami ingin memberi lebih kepada calon istrinya, itu tidak menjadi masalah, asal dia rela dan ikhlas dengan pemberian tersebut, seperti yang tertulis dalam Al Qur’an.
“Berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan …” (QS An-Nissaa :4).
Ijab adalah ungkapan pertama kali yang diucapkan wali wanita dan Qobul adalah ungkapan penerimaan yang diucapkan oleh calon suami. Ijab qobul boleh dilakukan dengan bahasa, ucapan dan ungkapan apa saja yang tujuannya diketahui untuk menikah. Hasil dari akad nikah ini kemudian dicatat oleh penghulu (KUA) untuk dicatatkan dalam berita acara pernikahan dan masing-masing akan diberikan buku nikah suami dan istri.

2.2.      Dilema Pernikahan Pada Masa Perkembangan Teknologi
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul permasalahan baru dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telepon. Ada contoh kasus yaitu ada seorang ayah yang ingin menikahkan anaknya, tetapi perjalanan seorang ayah tersebut masih tertunda di Jakarta sedangkan akad nikah yang dilaksanakan di Yogyakarta akan segera dilaksanakan karena rukun nikah sudah terpenuhi kecuali wali perempuan. Ayah dari mempelai perempuan tetap bersikeras ingin menikahkan anaknya sendiri tanpa diwakilkan. Jalan keluar yang diambil yaitu akad nikah dilaksanakan dengan menggunakan video call atau 3G. Dari kasus tersebut, timbul suatu keraguan apakah pernikahan tersebut sah atau tidak sehingga perlu dilakukan akad nikah ulang.
Menentukan sah atau tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi atau tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi. Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam.
Oleh karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan tidak dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
1.   Nikah itu termasuk ibadah. Oleh karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
“Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
2.   Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21.
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
3. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih.
لا ضرر ولا ضرارا
“Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.”
Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.”
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah”
Peristiwa akad nikah lewat telepon mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat. Contoh lain yaitu pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami Drs. Ario sutarto yang sedang bertugas belajar di program Pascasarjana Indiana University Amerika Serikat, sedangkan calon istri adalah Dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya biaya perjalanan pulang pergi Amerika Serikat-Jakarta dan studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil itu, padahal surat undangan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat telepon di rumahnya dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video. Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di Amerika Serikat itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki, sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari calon suami belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan Prof. DR. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused (keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
Proses pernikahan dalam Islam mempunyai aturan-aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul,  sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.
Ketika seseorang menikah lewat telpon, maka banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam akad nikah lewat telpon tadi, diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak adanya wali perempuan, dan tidak ketemunya calon pengantin ataupun wakilnya. Ini yang menyebabkan akad pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
Seandainya dia menghadirkan dua saksi dan wali perempuan dalam akad ini, tetap saja akad pernikahan tidak sah karena kedua saksi tersebut tidak menyaksikan apa-apa kecuali orang yang sedang menelpon, begitu juga wali perempuan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Suara yang ada ditelpon itu belum tentu suara calon suami atau istri. Ringkasnya bahwa akad pernikahan melalui telpon berpotensi untuk salah, atau rentan terjadinya penipuan dan manipulasi.
Disarankan siapa saja yang ingin menikah jarak jauh, untuk mewakilkan kepada orang yang dipercaya. Seandainya dia sebagai perempuan yang bekerja di luar negri, maka cukup walinya sebagai wakil darinya untuk menikahkan dengan lelaki yang diinginkannya, dan harus ada dua saksi yang hadir. Bagi seorang laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan jarak jauh, maka hendaknya dia mewakilkan dirinya kepada orang yang dipercaya, seperti adik, kakak, atau saudaranya dengan dihadiri wali perempuan dan kedua saksi. Seandainya ada laki-laki dan perempuan yang ingin menikah di luar negeri dan jauh dari wali perempuan, maka wali tersebut bisa mewakilkan kepada orang yang dipercayai. Wakil  dari wali tersebut beserta kedua saksi harus hadir di dalam akad pernikahan. Semua proses pemberian kuasa untuk mewakili hendaknya disertai dengan bukti-bukti dari instasi resmi terkait, supaya tidak disalahgunakan.
Masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya atau pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu calon suami, calon isteri dan wali semua terpisah jarak. Toh tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah. Tetapi yang solusinya bukan nikah jarak jauh, melainkan solusinya adalah taukil atau perwakilan. Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi syarat seorang wali. Dan penunjukannya boleh dilakukan secara jarak jauh, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI, bahkan boleh lewat SMS, chatting, e-mail, atau Video Conference 3.5 G.
Cukup ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya satu kota dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki. Si wakil wali mengucapkan ijab yang bunyinya kira-kira: “Saya sebagai wakil dari fulan (nama ayah si gadis) menikahkan kamu (nama calon suami) dengan fulanah binti fulan (nama gadis dan nama ayahnya) dengan mahar sekian sekian.” Lalu calon suami menjawab (qabul), kira-kira bunyinya: “Saya terima nikahnya fulanah binti fulanah dengan mahar tersebut tunai.” Dan akad itu sudah sah.
Dan lebih menarik lagi, ternyata perwakilan itu bukan saja boleh dilakukan oleh wali kepada wakilnya, tetapi calon suami pun boleh pula mewakilkan dirinya kepada orang lain. Sehingga namanya menjadi wakil calon suami yang akan melakukan proses qabul.
Misalnya seorang calon suami tidak mungkin bisa datang ke negara di mana ayah si gadis tinggal, sementara ayah di gadis pun tidak mau mewakilkan dirinya kepada orang lain. Berarti calon suami yang mengalah dan mewakilkan dirinya kepada seseorang yang tinggal di satu kota dengan ayah di gadis. Proses pewakilannya sama saja, boleh jarak jauh dan menggunakan berbagai teknologi informasi modern. Asalkan jangan pakai telepati saja, tidak sah karena tidak ada bukti otentik. Lalu si wakil calon suami melakukan akad nikah dengan ayah si gadis dan urusannya selesai.
Bahkan yang lebih fantastis lagi, ternyata kedua belah pihak pun masih dibenarkan untuk mengajukan wakil masing-masing. Sehingga yang melakukan akad nikah justru masing-masing wakilnya saja.
Maka pernikahan jarak jauh bukanlah akad nikah dilakukan lewat telepon SLI atau yang lebih murah pakai VoIP, namun yang yang dilakukan secara jarak jauh adalah proses mewakilkannya. Sedangkan akad nikahnya harus dilakukan dalam satu majelis, face to face, meski hanya oleh wakil dari masing-masing. Untuk itu, harus ada saksi yang memenuhi syarat. Syaratnya mudah dan sederhana, tidak harus keluarga, famili atau kerabat. Bahkan tidak kenal pun tidak apa-apa. Yang penting saksi adalah dua orang yang beragama Islam, laki-laki, berakal, sudah baligh, adil dan merdeka (bukan budak). Dan syarat saksi ini kira-kira sama dengan syarat orang yang berhak untuk menjadi wakil dari wali.
Dalam syariat Islam, akad nikah tidak terjadi antara seorang calon suami dengan calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang wanita dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada akad nikah kalau tidak melibatkan keduanya bersama.
Sama dengan jual beli, kita diharamkan membeli barang dari orang yang bukan pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari pencuri. Kita hanya boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku
sebagai pemilik tanah itu tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya, misalnya SHM atau paling tidak girik. Sebab kalau kita asal beli begitu saja, jangan-jangan tanah itu sudah ada yang punya. Kita akan terlibat sengketa tanah tak berkesudahan nantinya.
Begitu juga ketika menikahkan anak, kita harus 'membeli' langsung dari 'pemiliknya', yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi yang memudahkan. Kita ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki oleh ayah kandungnya. Maka kalau kita mau 'menikahinya', kita harus menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan orang lain yang bukan pemilik.
Adapun orang lain yang bukan ayahnya, lalu tiba-tiba mendadak mengangkat diri menjadi wali, maka dia telah bertindak sebagai 'wali gadungan'. Akad nikah yang dilakukannya 100% tidak sah. Karena pada hakikatnya dia bukan wali sedangkan wanita itu masih punya wali yang sah.
'Wali gadungan'adalah pencuri yang akan disiksa di neraka nanti, karean telah menyerobot hak milik orang lain. Bahkan bukan sekedar mencuri, dia akan disiksa pedih karena telah menghalalkan perzinaan. Dia telah menipu orang awam dengan fatwa sesatnya.
Syarat mutlak dari sebuah pernikahan adalah akad antara ayah kandung pengantin wanita dengan seorang calon suami.Dalam implementasinya, seorang ayah kandung boleh saja meminta orang lain untuk bertindak mewakili dirinya, namun harus dengan penyerahan wewenang secara sah dan resmi. Tidak boleh dirampas begitu saja. Sehingga pernikahan jarak jauh tetap bisa dilakukan. Maksudnya, meski ayah kandung tidak ikut dalam akad nikah, dia boleh mewakilkan otoritasnya kepada orang lain yang memenuhi syarat sebagai wali untuk bertindak atas nama dirinya menikahkan puterinya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan nikah jarak jauh adalah merampas hak seorang ayah kandung sebagai wali yang sah, maka hukumnya haram.
Tidak ada masalah untuk melakukan nikah jarak jauh, di mana pengantin laki-laki dan pengantin perempuan tidak saling bertemu. Sama sekali tidak ada masalah karena akad nikah atau ijab kabul dalam syariah Islam memang tidak terjadi antara pengantin laki dan pengantin perempuan. Ijab kabul terjadi antara pengantin laki-laki dengan ayah kandung atau wali dari pengantin perempuan. Maka cukuplah si pengantin laki-laki dan calon mertuanya itu saja yang mengucapkan ijab kabul. Asalkan ijab kabul itu disaksikan oleh dua orang laki-laki muslim yang sudah aqil baligh, akad itu sudah sah.
Bagi seorang wanita, tidak ada nikah tanpa wali. Dan wali adalah ayah kandungnya yang sah. Hanya di tangan ayah kandung sajalah seorang wanita boleh dinikahkan. Seandainya si ayah kandung tidak mampu menghadiri akad nikah anak gadisnya, maka dia boleh mewakilkan dirinya kepada orang lain yang dipercayainya. Namun hak untuk menjadi wali tidak boleh ''dirampas'' begitu saja dari tangan ayah kandung. Bila sampai perampasan itu terjadi, lalu wali gadungan itu menikahkan anak gadis itu, maka akad nikah itu tidak sah. Kalau mereka melakukan hubungan suami isteri, hukumnya zina.
Yang lebih menarik, justru kehadiran petugas pencatat nikah yang biasanya memimpin ijab qabul, sama sekali tidak masuk dalam urusan sah atau tidaknya pernikahan. Meski tugas itu didapat dari pemerintah secara resmi, namun tanpa kehadirannya akad nikah bisa tetap berlangsung. Sementara anggapan sebagian masyarakat kita, petugas KUA ini seolah menjadi tokoh inti dari sebuah ijab qabul. Padahal tugas hanya sekedar mencatat secara administratif saja. Hadir atau tidak hadir, tidak ada urusan dengan sahnya sebuah akad nikah. Namun demikian, demi tertibnya administrasi negara, sebaiknya petugas ini dihadirkan juga, akan akad nikah itu secara resmi juga tercatat dengan baik di pemerintahan.
Memang benar apa yang anda katakan, sebuah pernikahan itu harus dilakukan oleh wali dari pihak perempuan dan pihak mempelai laki-laki. Mereka berdua melafadzkan ijab dan qabul yang disaksikan oleh minimal 2 orang laki-laki muslim. Tanpa adanya keempat orang itu, nikahnya menjadi tidak sah. Karena tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan sebuah pernikahan. Namun yang perlu diperjelas di sini, bahwa seorang wali diperkenankan untuk meminta orang lain untuk mewakili tugas dan wewenang. Orang lain yang ditunjuk ini, tentu saja harus benar-benar ditunjuk dalam arti kata yang sesungguhnya.
Dalam masyarakat, seringkali kita lihat orang tua mempelai wanita meski hadir dalam acara akad nikah itu, meminta kepada petugas pencatat nikah (KUA) untuk menjadi wakilnya. Sehingga yang mengucapkan ijab bukan orang tua mempelai wanita, melainkan petugas KUA. Petugas itu tidak boleh mengambil alih wewenang sebagai wali mempelai wanita, kecuali berdasarkan permintaan dari si wali tersebut. Demikian juga, mempelai laki-laki pun diperkenankan untuk meminta orang lain menjadi wakil dirinya, dalam akad nikah. Baik dirinya hadir dalam acara akad itu atau pun tidak. Namun yang kedua ini memang kurang lazim terjadi. Tapi secara hukum, bila memang hal itu yang diingininya, hukum tetap sah. Seluruh ulama salaf dan khalaf sepakat membolehkan masalah mewakilkan wali nikah ini secara bulat. Baik Mazhab Abu Hanifah, Malik, As-Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Bahkan mazhab Abu Hanifah lebih jauh lagi dalam masalah ini, yaitu seorang wanita boleh menjadi wakil dari ayah kandungnya dalam pernikahan dirinya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa kebolehan mewakilkan wewenang kepada orang lain (tawkil) dalam menikahkan pasangan pengantin ini berlaku juga dalam hampir semua hal yang terkait dengan masalah muamalah. Seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, salaf, istishna' dan lainnya.
Sedangkan yang terkait dengan ibadah mahdhah dan bersifat langsung kepada Allah SWT, tidak berlaku kecuali bila ada dalil. Shalat dan puasa tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, namun ibadah haji termasuk rincian manasiknya seperti melontar jamarat dan lainnya, dimungkinkan untuk diwakilkan. Lantaran ada dalil yang tegas atas hal itu. Termasuk yang boleh diwakilkan adalah menyembelih qurban yang dipersembahkan kepada Allah SWT di hari Raya Qurban.
Pada dasarnya menurut para ulama, tidak disyaratkan ada persaksian dalam proses pemberian wewenang untuk menjadi wakil wali nikah. Namun mereka menganjurkan untuk dihadirkan saksi-saksi, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai orang yang sudah menyerahkan wewenang kepada wakilnya, tiba-tiba mengingkarinya.
Islam Memberi Kemudahan Namun Sesuai Prosedur. Kemungkinan menunjuk wakil dalam akad nikah ini untuk menjawab masalah nikah jarak jauh, di mana wali mempelai wanita dan mempelai laki-laki sulit untuk bisa duduk dalam satu majelis.
Daripada mereka melakukan ijab kabul lewat telepon, akan lebih utama bila secara sah mereka meminta orang lain mewakili mereka. Sebab ijab kabul jarak jauh ini masih meninggalkan banyak perdebatan. Lantaran ada keharusan disaksikan oleh dua orang saksi muslim, laki-laki, yang sudah aqil dan baligh. Sesuatu yang sulit dikerjakan bila dilakukan dengan jarak jauh dan bukan dalam satu majelis.
Maka yang bisa kita simpulkan adalah bahwa setiap personal yang terkait dalam sebuah akad nikah boleh mewakilkan wewenangnya kepada orang lain. Dalam hal ini adalah calon suami dan mertuanya. Keduanya berhak meminta orang lain untuk mewakili dirinya dalam sebuah akad.
Sedangkan saksi nikah yang dua orang itu, memang tidak tergantikan, tetapi saksi boleh siapa saja, asalkan muslim, laki, aqil, baligh, merdeka dan adil.
Nikah jarak jauh yang Anda impikan itu mungkin saja terjadi, malahan sudah terjadi, bahkan seringkali terjadi. Di mana mempelai laki-laki dan wali pihak perempuan dipisahkan jarak yang sangat jauh, sementara akad nikah tetap bisa berlangsung dengan sah sesuai dengan syariat Islam dan juga hukum positif negara.
Benarkah?
Ya, benar sekali. Bahkan tidak membutuhkan alat-alat komunukasi canggih paling modern seperti yang kita kenal di masa sekarang ini. Semua tetap bisa dilakukan di zaman yang belum ada listrik, telepon dan mesin kendaraan. Syariat Islam telah memberi sebuah ruang yang memungkinkan semua itu terjadi, bahkan di masa yang paling primitif sekalipun.
Bagaimana caranya?
Caranya dengan taukil…
Taukil adalah perwakilan wali. Di mana seorang ayah dari wanita memberikan wewenang kepada seorang laki-laki lain, tidak harus familinya, yang penting muslim dan dipercaya oleh si ayah, untuk melaksanakan akad nikah puterinya dengan calon suaminya.
Yang penting, si wakil wali ini bisa menghadiri acara akad nikah, karena ladafz ijab akan diucapkannya di depan calon mempelai laki-laki.
Yang lebih menarik lagi, ternyata yang boleh mewakilkan posisinya kepada orang lain bukan hanya ayah kandung pihak wanita, tetapi mempelai laki-laki pun masih dibenarkan untuk memberikan perwakilan dirinya kepada orang lain lagi. Sehingga sebuah ijab qibul bisa tetap bisa dilakukan tanpa kehadiran wali dan mempelai laki-laki. Cukup wakil sah dari masing-masing pihak saja yang melakukan akad nikah. Bahkan pihak pengantin wanita pun juga tidak perlu wajib hadir dalam akad itu.
Bukankah ini menarik? Dan sama sekali tidak butuh alat-alat canggih, bukan?
Yang penting, proses pemberian wewenang sebagai pihak yang mewakili ayah kandung sah dan dibenarkan secara yakin anpa diperlukan harus ada saksi. Demikian juga dengan proses pemberian hak sebagai wakil pihak mempelai laki-laki, juga harus benar dan sah, meski tanpa saksi. Dan pemberian wewenang untuk mewakili ini pun tidak mengharuskan keduanya duduk dalam satu majelis. Jadi bisa lewat telepon, email, faks, SMS bahkan chatting.
Akad nikah atau ijab qabul yang dilakukan oleh masing-masing wakil dari kedua belah pihak adalah sebuah bentuk keluwesan sekaligus keluasan syariah Islam. Namun kalau tiba-tiba ada orang mengangkat diri menjadi wakil tanpa ada pemberian wewenang dari yang punya hak yaitu wali atau mempelai laki-laki secara sah, maka orang ini sama sekali tidak berhak melakukan akad nikah. Kalau pun nekat juga, maka nikah itu tidak sah di mata Allah SWT.

BAB III
PENUTUP

3.1.      Kesimpulan
Dari uraian yang penulis paparkan, dapat  penulis simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
1.   Nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2.   Penetapan/putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
3.   Penetapan peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama .

3.2.      Saran
Untuk menyikapi dilema pernikahan yang terjadi sebaiknya :

DAFTAR PUSTAKA

Afifi, Mustofa. 2005. Al-Muttaqien (LKS Pendidikan Agama Islam Untuk SMA). Purworejo : UD. Daya Famili.
http://assunnah.or.id/ diakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 10.31.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/akad-nikah-lewat-telepon.htmldiakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 10.25.
http://nikahituenak.wordpress.com/2007/07/21/hukum-nikah-jarak-jauh-2diakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 10.36.
http://walausetitik.blogspot.com/2006/07/belum-yakin-nikah-jarak-jauh-lewat.htmldiakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 10.45.
http://www.hidayatullah.comdiakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 11.10.
http://www.lawskripsi.comdiakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 10.56.
http://www.ustsarwat.com/cari.php?k=nkhdiakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 11.25.

Makalah Agama Islam Kemuhammadiyahan (AIK) Dasar-dasar Muamalah dalam Jual Beli

No comments:

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Mu’amalah adalah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan peradaban Islam yang maju di masa lalu. Ia merupakan satu bagian dari syari’at Islam, yaitu yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia, masyarakat dan alam. Karena mu’amalah merupakan aspek dari ajaran Islam, maka ia juga mengandung aspek teologis dan spiritual. Aspek inilah yang merupakan dasar dari mu’amalah tersebut.

Sehubungan dengan itu bimbingan mualamah menjadi penting, karena masalahnya komplek, ia berkaitan dengan masalah rohani dan jasmani, manusia dan alam, dunia akhirat. Disamping itu bimbingan mu’amalah akan mengarahkan kehidupan duniawi, dan mendapatkan ganjaran diakhirat.

Dalam makalah ini membahas mu’amalah tentang jual beli, dimana manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada di muka bumi sebagai sumber ekonomi.

I.2. Tujuan

Manusia sebagai makhluk sosial yang diciptakan Allah SWT yang saling membutuhkan satu dengan yang lain tak lepas dalam urusan jual beli guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Jual beli juga merupakan aktivitas sehari-hari setiap orang untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya, dan setiap orang yang terjun dalam bidang jual beli harus mengetahui hukum jual beli agar jual beli tersebut tidak ada yang dirugikan, yang sesuai dengan syariat islam.

BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Pengertian Mu’amalah

Agama Islam merupakan suatu kesatuan keyakinan dan ketentuan Ilahi yang mengatur kehidupan manusia baik dalam hubungannya dengan Tuahn maupun dalam hubungannya dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam lainnya.
Syari’at Islam merupakan dasar hukum baik mengenai ibadat maupun mengenai hidup kemasyarakatan. Yang pertama disebut ibadah dan yang kedua disebut mu’amalah. Antara keduanya terdapat suatu kaitan yang sangat erat. Sebagaimana halnya antara aqidah syari’ah dan ibadah serta mu’amalah yang kesemuanya itu tidak dapat dipisah-pisahkan.
Tugas pokok umat Islam tentang menegakkan kebaikan, menolak maksiat dalam pribadi-pribadi atau yang mungkin terjadi diantara mereka dengan tetangganya dan umat Islam dengan orang kafir, perbuatan yang mencegah penganiayaan, mempertahankan hak, melakukan kebajikan, menciptakan perdamaian dan ketentraman adalah kesemuanya itu disebut dengan mu’amalah.

II.2. Pengertian Jual Beli

Dalam bab sebelumnya telah dikatakan bahwa manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada di muka bumi sebagai sumber ekonomi. Allah SWT berfirman :
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S. Al Qasas : 77).
Jual Beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya beli. Menurut istilah hukum syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka.

II.3. Hukum Jual Beli

Dalam urusan jual beli orang harus mengetahui hukum jual beli agar dalam jual beli tersebut tidak ada yang dirugikan, baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli, jual beli hukumnya mubah (boleh). Dengan kata lain setiap orang boleh melakukan kegiatan jual beli dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Allah berfirman dalam Q.S. An Nisa ayat 29 : ”Hai orang0rang yang beriman, janganlah kamu saling memakan sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut : ”Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR Bukhari).
Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan jual beli dan tawar menawar harus ada sepakatan atau keseuaian harga antara penjual dan pembeli.

II.4. Rukun dan Syarat Jual Beli

Dalam ajaran Islam ada beberapa rukun dalam praktik jual beli.
1.    Penjual dan Pembeli
Adapun penjual dan pembeli dalam transaksi jual beli harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
a.  Berakal sehat, yaitu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat agar dapat melakukan jual beli dengan sadar.
b.  Atas dasar suka sama suka, yaitu atas kehendak sendiri dan tidak dipaksa oleh pihak manapun.
c.  Balig, Baik penjual atau pembeli harus sudah mencapai usia balig atau dewasa. Sedangkan anak yang belum balig tetap dibolehkan melakukan jual beli dengan tujuan untuk mendidik mereka.
2.    Syarat Ijab dan Kabul antara Penjual dan Pembeli
Ijab adalah perkataan untuk menjual atau transaksi menyerahkan. Sedangkan kabul adalah ucapan si pembeli sebagai jawaban dari perkataan si penjual. Pernyataan ijab kabul tidak harus menggunakan kata-kata khusus. Yang diperlukan ijab kabul adalah saling rela (ridho) yang direalisasikan dalam bentuk kata-kata.
3.    Adanya Barang/Benda yang Diperjualbelikan
Barang dagangan yang diperjualbelikan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.    Suci atau bersih dan halal barangnya.
b.    Barang yang diperjualbelikan harus diteliti terlebih dahulu.
c.    Barang yang diperjualbelikan tidak berada dalam proses penawaran dengan orang lain.
d.    Barang yang diperjualbelikan bukan hasil monopoli yang merugikan.
e.    Barang yang diperjualbelikan tidak boleh ditaksir (spekulasi).
f.     Barang yang diperjualbelikan adalah milik sndiri atau yang diberi kuasa.
g.    Barang itu dapat diserahterimakan.
II.5. Macam-Macam Jual Beli
Setelah mempelajari beberapa rukun dan syarat dalam praktik jual beli, maka dapat dipahami bahwa ada beberapa praktik jual beli yang sah menurut syari’at dan ada pula yang dilarang. Beberapa macam jual beli menurut kaca mata syari’at Islam, yakni sebagai berikut :
1.    Bentuk Jual Beli yang Sah
Bentuk jual beli yang sah maksudnya adalah semua transaksi jual beli yang sesuai dengan beberapa rukun dan syarat yang telah disebutkan diatas.
2.    Jual Beli yang Tidak Sah
Jual beli yang tidak sah, dikarenakan kurang memenuhi syarat dan rukunnya, diantaranya sebagai berikut :
a.    Jual beli dengan menggunakan sistem ijon, yaitu jual beli yang belum jelas barangnya seperti buah-buahan yang masih mudah di pohon, padi yang masih hijau dan lain sebagainya. Jual beli ini dilarang karena dapat merugikan salah satu pihak dan membuat mereka menjadi kecewa.
b.    Jual beli anak binatang ternak yang masih dalam kandungan dan belum jelas apakah setelah lahir anak binatang itu hidup atau mati.
c.    Jual beli barang yang belum ada wujudnya di tangan. Maksudnya, barang yang dijual masih berada di tangan penjual pertama.
3.    Jual Beli yang Sah Tetapi Dilarang
Ada beberapa jenis jual beli yang hukumnya sah, tetapi dilarang ajaran agama Islam disebabkan adanya satu sebab atau akibat dari prosesnya. Adapun yang termasuk jual beli ini adalah :
a.    Jual beli yang dilakukan pada waktu shalat Jum’at. Kegiatan jual beli ini dipandang akan melalaikan kewajiban menunaikan shalat Jum’at.
b.    Jual beli barang dengan niat untuk ditimbun pada saat masyarakat membutuhkan. Jual beli seperti ini sah tetapi dilarang karena akan menyengsarakan orang banyak, sehingga harga barang menjadi melambung tinggi di saat terjadi kelangkaan barang.
c.    Membeli barang dengan cara menghadang di pinggir jalan. Jual beli ini sah hukumnya tetapi dilarang karena penjual tidak mengetahui harga umum di pasar sehingga memungkinkan ia menjual barangnya dengan harga di bawh harga pasar.
d.    Jual beli barang yang masih dalam tawaran orang lain.
e.    Jual beli dengan cara menipu, seperti mengurangi timbangan atau ukuran atau takaran.
f.     Jual beli barang yang digunakan untuk perbuatan maksiat seperti untuk pencurian, perampokan, berjudi dan lain-lain.
II.6. Khiyar
Tawar menawar antara penjual dan pembeli sebelum terjadinya akad merupakan peristiwa yang pasti terjadi dalam setiap transaksi jual beli. Kegiatan inilah yang disebut dangan istilah khiyar. Dalam proses inilah antara penjual dan pembeli sama-sama memiliki hak untuk meneruskan akad jual beli atau membatalkannya. Khiyar dilakukan agar si penjual dan si pembeli memiliki kesempatan untuk memikirkan yang terbaik dalam jual beli. Hukum khiyar adalah boleh sepanjang tidak dipergunakan untuk menipu. Jika khiyar dipergunakan oleh si penjual atau si pembeli untuk menipu, maka hukumnya haram.
Dalam kegiatan jual beli, ada tiga macam khiyar yang dikenal dalam ajaran Syara’ yaitu :
1.    Khiyar Majlis
Khiyar majlis adalah khiyar antara si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya pada waktu masih berada di tempat akad jual beli.
2.    Khiyar Syarat
Khiyar syarat yaitu hak memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya dengan syarat tertentu
3.    Khiyar ’Aib
Khiyar ’aib yaitu hak memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya yang disebabkan karena adanya cacat pada barang yang dijual.

BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Mu’amalah dalam jual beli tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, karena antara manusia saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan mu’amalah dalam jual beli manusia harus berdasarkan ajaran Islam agar mendapat karunia Allah, agar manusia mengerti dengan hukum-hukum mu’amalah dalam jual beli dan agar tidak ada yang dirugikan.

III.2. Saran

Kita sebagai umat Islam patutlah kita melaksanakan syari’at Islam yang telah ditentukan, agar kita mengerti hukum-hukum Islam dan mendapat ridho dan karunia Allah disetiap apa yang kita lakukan dan salah satunya dalam urusan jual beli.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 1986. Bimbingan Mu’amalah untuk siswa SMA. Jakarta : Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam.
Margiono, Drs. M.Pd kkk, 2005. Pendidikan agama Islam Penuntun Hidup. Jakarta: Yudhistira.
Wawan Djunaedi. 2007. Pendidikan Agama Islam untuk SMK Kelas XI. Jakarta : PT Sakanindo Ptintama.