March 2018 | Serba Serbi komplit

Makalah Hibah Dan Sedekah

No comments:

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu dari anjuran agama Islam adalah tolong-menolong antara sesama muslim ataupun non muslim.
Bentuk tolong-menolong itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya.
Salah satu di antaranya adalah hibah, atau disebut juga pemberian cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan.
الهبة ( hibah) adalah dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti.
Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqohyang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata.

BAB II
PEMBAHASAN
A. HIBAH
1. Pengertian Hibah
Kata "hibah" berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memeberi kepada tangan orang yang diberi.
Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.
Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberuikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tnpa da kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).
Dalam istilah hukum perjanjian yang seperti ini dinamakan juga dengan perjanjian sepihak (perjanjian unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).
2. Dasar Hukum Hibah
Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai berikut :
"Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia adalah rezeki yang diberi Allah kepadanya".
3. Rukun Dan Syarat Sahnya Hibah
Rukun hibah adalah sebagai berikut :
1. Penghibah , yaitu orang yang memberi hibah
2. Penerima hibah yaitu orang yang menerima pemberian
3. Ijab dan kabul.
4. Benda yang dihibahkan.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :
1. Syarat-syarat bagi penghibah
a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan
c. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
d. Penghibah tidak dipaksa untuk memnerikan hibah.
2. Syarat-syarat penerima hibah
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.
3. Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a. Benda tersebut benar-benar ada;
b. Benda tersebut mempunyai nilai;
c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan;
d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.
Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan.
Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu".
Sedangkan Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti oleh kabul, dengan pernyataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak.
Adapun menyangkut pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.
3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh si pemberi hibah.
4. Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.
4. Hibah Orang Sakit Dan Hibah Seluruh Harta
Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.
Sedangkan menyangkut penghibahan seluruh harta, sebagaimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq,bahwa menurut jumhur ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.
Muhammad Ibnu Hasan (demikian juga sebagian pentahqiq mazhab Hanafi) berpendapat bahwa : Tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun di dalam kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang yang dungu dan orang yang dungu wajib dibatasi tindakannya.
5. Penarikan Kembali Hibah
Penarikan kembali atas hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan meskipun hibah itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Adapun hibah yang boleh ditarik hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
Dasar hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi yang artinya berbunyi sebagai berikut :
"Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : "Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali.
6. Hikmah dalam Amalan Hibah
Hibah disyari’atkan dalam Islam dengan galakan yang mendalam adalah untuk memaut hati kalangan masyarakat Islam itu sendiri sesama mereka dan memperdekatkan perasaan kejiwaan sesama manusia yang hidup dalam masyarakat Islam atau di luar masyarakat Islam. Keistimewaan hibah ini ialah ianya boleh dilakukan kepada orang yang bukan Islam sekali pun, bahkan kepada musuh-musuh yang membenci Islam apabila diketahui lembut hatinya apabila di’beri’kan sesuatu. Hibah ini merupakan salah satu aktiviti kemasyarakatan yang berkesan memupuk rasa hormat, kasih sayang, baik sangka, toleransi, ramah mesra dan kecaknaan dalam kehidupan sosial sesebuah negara. Secara ringkasnya, hikmah hibah ini boleh dirumuskan dalam perkara berikut (tanpa menghadkan kepada perkara di bawah) :
  • melunakkan hati sesama manusia
  • menghilangkan rasa segan dan malu sesama jiran, kawan, kenalan dan ahli
  • masyarakat menghilangkan rasa dengki dan dendam sesama anggota masyarakat
  • Menimbulkan rasa hormat, kasih sayang, mesra dan tolak ansur sesama ahli setempat.
  • meningkatkan citarasa kecaknaan dan saling membantu dalam kehidupan
  • memudahkan aktiviti saling menasihati dan pesan-memesan dengan kebenaran dan kesabaran
  • menumbuhkan rasa penghargaan dan baik sangka sesama manusia
  • mengelak perasaan khianat yang mungkin wujud sebelumnya
  • meningkatkan semangat bersatu padu dan bekerjasama
  • dapat membina jejambat perhubungan dengan pihak yang menerima hibah..
1. Firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah : 177) yang artinya:
Bukanlah kebaikan itu engkau mengarahkan wajahmu menghadap timur dan barat. Akan tetapi kebaikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, para nabi, memberikan harta yang disukainya kepada kerabat dekatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang meminta-minta dan untuk membebaskan budak.
2. Firman Allah SWT QS Al-Baqarah : 261 :
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahu

B. SEDEKAH
1.Pengertian Sedekah
Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqohyang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela).
Di dalam Alquran banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum Muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Di antara ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT yang artinya: ''Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.'' (QS An Nisaa [4]: 114). Hadis yang menganjurkan sedekah juga tidak sedikit jumlahnya.
Para fuqaha sepakat hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan. Terakhir ada kalanya juga hukum sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi wajib jika seseorang bernazar hendak bersedekah kepada seseorang atau lembaga.
Menurut fuqaha, sedekah dalam arti sadaqah at-tatawwu' berbeda dengan zakat. Sedekah lebih utama jika diberikan secara diam-diam dibandingkan diberikan secara terang-terangan dalam arti diberitahukan atau diberitakan kepada umum. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi SAW dari sahabat Abu Hurairah. Dalam hadits itu dijelaskan salah satu kelompok hamba Allah SWT yang mendapat naungan-Nya di hari kiamat kelak adalah seseorang yang memberi sedekah dengan tangan kanannya lalu ia sembunyikan seakan-akan tangan kirinya tidak tahu apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya tersebut.
Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang yang betul-betul sedang mendambakan uluran tangan. Mengenai kriteria barang yang lebih utama disedekahkan, para fuqaha berpendapat, barang yang akan disedekahkan sebaiknya barang yang berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya; ''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai...'' (QS Ali Imran [3]: 92).
Pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya yang berarti: ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima.'' (QS Al Baqarah [2]: 264). (dam/disarikan dari buku Ensiklopedi Islam)
2. Hikmah Shadaqah.
a. Shadaqah dapat menjauhkan kita dari bencana, baik yangsipemberi maupun sipenerima.
b. Dapat membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu dan dapat mencegah saudara-saudara kita dari kemudharatan.
c. Shadaqah juga dapat mengikat tali persaudaraan yang lebih erat diantara kita.


 
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.      Hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tnpa da kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).
2.      Rukun hibah, yaitu : penghibah , penerima hibah, ijab dan kabul, dan benda yang dihibahkan.
3.      Syarat-syarat hibah itu meliputi syarat penghibah, penerima hibah dan benda yang dihibahkan.
4.      Penghibahan harta yang dilakukan oleh orang sakit hukumnya sama dengan wasiat. Menurut jumhur ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.
5.      Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, H SH MH, 2004, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo.
Pasaribu, H. Chairuman Drs dan Suhrawardi K. Lubis SH, 1996, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: sinar Grafika.
Rasyid, Sulaiman, 1990, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru.
Sabiq, Sayid, 1988, Fikih Sunnah Jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma'arif.
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 14,Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1988, hlm. 167.
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1990, hlm. 305
Sayid Sabiq, Op. Cit, hlm. 173
H. Abdurrahman SH MH, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004

Makalah Sumber Ajaran Islam Lengkap

No comments:

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an terhadap hal-hal yang masih bersifat umum. Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas. Sebagai salah satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum.
Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.
2.      Kedudukan Hadist, Ijma; dan Qiyas.
3.      Pengertian Nash dan Syari’ah.
4.      Teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5.      Pengertian ijtihad dan perbedaan mazdhab.

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.
2.      Untuk memahami kedudukan Hadist, Ijma’ dan Qiyas dalam menetapkan hukum Islam.
3.      Untuk mengetahui pengertian Nash dan Syari’ah
4.      Untuk mengetahui teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5.      Untuk memahami ijtihad dan perbedaan mazdhab.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN RUANG LINGKUPNYA
  1. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan bernilai ibadat yang membacanya.
  1. Ruang Lingkupnya Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada 5:
1.      Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-rosul Nya, Hari Akhir dan Qodho, Qadar yang baik dan buruk.
2.      Tuntutan ibadat sebagai perbuatan yang jiwa tauhid.
3.      Janji dan Ancaman
4.      Hidup yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
5.      Inti sejarah orang-orang yang taat dan orang-orang yang dholim pada Allah SWT.
  1. Dasar-dasar Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum
1.      Tidak memberatkan
“Allah tidak membenari seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Misalnya:
a)      Boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
b)      Boleh makan-makanan yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa/memaksa.
c)      Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu’
2.      Menyedikitkan beban
Dari prinsip tidak memberatkan itu, maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban agar menjadi tidak berat. Karena itulah lahir hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti: mengqashar sholat.
3.      Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum
Hal ini dapat diketahui, umpamanya; ketika mengharamkan khomr.
1)      Menginformasikan manfaat dan mahdhorotnya.
2)      Mengharamkan pada waktu terbatas, yaitu; sebelum sholat.
3)      Larangan secara tegas untuk selama-lamanya.

B.     KEDUDUKAN HADIST, IJMA’ DAN QIYAS
1.      Kedudukan Al-Hadist/Al-Sunnah
Nabi Muhammad sebagai seorang rosul menjadi panutan bagi umatnya disamping sebagai ajaran hukum. Baik yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang ditetapkan sendiri yang berupa al-Sunnah. Banyak sekali masalah yang sulit ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, maka banyak orang mencarinya dalam as-Sunnah.
Selain diindikasikan dalam Al-Qur’an, para ulama pun telah bersepakat untuk menetapkan al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam.
Sunnah yang dijalankan Nabi pada dasarnya adalah kehendak Allah juga. Dalam arti bahwa Sunnah itu sebenarnya adalah risalah dari Allah yang manifestasikan dalam ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi. Maka sudah sepantasnya, bahkan seharusnya bilamana Sunnah Nabi dijadikan sumber dan landasan ajaran Islam.
2.      Kedudukan Ijma’
Kebanyakan ulama menetapkan, bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber ajaran Islam dalam menetapkan suatu hukum. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosulnya dan Ulil Amri diantara kamu.”
Maka dapat disimpulkan bahwa, apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu masalah/peristiwa, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Ijma’ dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hokum suatu peristiwa yang didalam Al-Qur’an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
3.      Kedudukan Qiyas
Qiyas menduduki tingkat keempat, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an. Mereka mendasarkan hal tersebut pada firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang artinya; “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”

C.    PENGERTIAN TENTANG NASH DAN SYARI’AH
1.      Pengertian Nash
Menurut bahasa, Nash adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut istilah antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:
a.       Ad-Dabusi:
Artinya:
“Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh shahir.”
 b.      Al-Bazdawi
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasikh pada zaman risalah (zaman Rasul).”

Sebagai contoh adalah ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَى.
Dilalah nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
2.      Pengertian Syari’ah
Dilihat dari sudut kebahasaan kata, syari’ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang dilalui air terjun.”
Syari’ah adalah semua yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an ataupun melalui Sunnah Rasul.
Syari’ah itu adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (manusia) yang dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far’iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian syari’ah menurut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at menurut bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut istilah ialah hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari’ah tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah disepakati (di ijma’) oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya dan yang belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad), juga dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan perkataan lain syari’at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti dan dilaksanakan oleh manusia didalam kehidupannya.
Pengertian syari’ah menurut Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah satu makna syari’ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah: 18
ثُمَّ جَعَلْنَكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَاوَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha memakai kata syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai akhlak dan aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Menurut asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari’ah itu adalah ketentuan hukum yang membatasi perbuatan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang mukallaf.”
Demikianlah makna syari’at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah untuk nama hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah dan syari’ah sebagaimana dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam adalah syari’ah penutup, syari’ah yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum, baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan.

D.    TEORI DAN KONSEP ISTIMBATH HUKUM DALAM ISLAM
Bila para ulama hadist dihadapkan kepada suatu masalah, pertama kali para ulama ahlul haidst mencari penyelesaian masalah itu kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi/Rasul. Apabila para ulama hadist mendapat hadist yang berbeda-beda, maka mereka mengambil hadist sebagai sumber hukum, dari hadist yang diriwayatkan oleh para perawi hadist yang lebih utama dan memenuhi persyaratan. Kalau para ulama tersebut tidak menemukan hadistnya, selanjutnya mereka meninjau dan mempedomani pendapat para sahabat Nabi. Andaikata tidak juga diperoleh pendapat para sahabat mengenai masalah yang sedang dihadapi para ulama hadist tersebut, maka selanjutnya barulah mereka melaksanakan ijtihad untuk menyelesaikan suatu masalah hukum Islam, atau mereka belum/tidak menyampaikan fatwa kepada masyarakat. Masa mereka enggan berfatwa ini tidak lama, hanya sampai kepada masa wafatnya Imam Daud ibnu Ali. Para ulama Fuqaha sesudah itu selalu memperhatikan/melaksanakan fatwa, baik yang telah terjadi, walaupun yang belum atau mungkin terjadi, berarti mereka selalu melaksanakan ijtihad terhadap sesuatu masalah yang baru, dan belum teratur dasar hukumnya, sehingga segala masalah dapat mereka tentukan hukumnya berdasarkan hasil ijtihad para ulama hadist (aliran Madrasah Hadist).

E.     IJTIHAD DAN PERBEDAAN MAZDHAB
  1. Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ ْلإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ جُكْمٍ َِرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.
Adapun pengertia ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
  1. Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1.      Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2.      Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazdhab saja.
Menganut suatu aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.

Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.
A.    IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu hukum.
1.      Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2.      As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
3.      Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya.
4.      Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan.
5.      Al-Istihsan
 6.      Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali kepada Urf manusia.

B.     IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1.      Al-Qur’an
2.      Sunnah Rasul yang beliau pandang sah.
3.      Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4.      Qiyas
5.      Istishlah (Mashalihul Mursalah)

C.    IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i.
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
3.      Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya
4.      Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
5.      Istidlal (Istishhab)

D.    IMAM AHMAD BIN HAMBALI
Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
1.      Nash Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
2.      Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
3.      Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4.      Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
5.      Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.

BAB III
KESIMPULAN


Al-Qur’an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas.
Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA
 
·         Rifai, Moh. Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 2003
·         Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazdhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
·         Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
·         Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1999.